Ada seorang cowok yang sudah kusuka sejak lama. Namanya Yusaku
Image courtesy of Sicha Pongjivanich at FreeDigitalPhotos.net |
Selain kocak, dia itu cowok yang pandai. IQ-nya saja 150. Tapi, sayangnya dia tidak bisa membagi waktu antara belajar dan bercanda. Dia hanya melakukan apa saja yang dia mau, sehingga guru-guru sering dibuat kewalahan olehnya.
Masih jelas dalam ingatanku. Kenakalan-kenakalan yang pernah dia lakukan. Coba bayangkan pada minggu pertama masuk saja, dia sudah menjahili guru-guru. Mau tahu apa yang dia lakukan? Dia menaburi bubuk merica pada partitur lagu milik Bu Ina,Guru Seni Musik kami. Dan bisa kalian bayangkan sepanjang pelajaran Bu Ina terus bersin dan akhirnya meninggalkan kelas karena beliau menyangka dirinya sakit.
Minggu kedua pada pelajaran Biologi, Yusaku membuat berbagai macam suara seperti air jatuh, anjing menyalak dan ketukan pintu. Tapi, anehnya mulutnya tidak bergerak sama sekali. Tentu saja kami sepakat pura-pura tidak mendengar. Guru Biologi kami Pak Yoga meninggalkan kelas menyangka dirinya sakit seperti Bu Ina.
Walaupun Pak Yoga memberikan tugas kepada kami. Tapi, tidak ada satu pun yang mengerjakan tugas setelah itu. Aku ingat saat itu seluruh anak di kelasku tertawa terbahak-bahak, tanpa terkecuali.
Dia sudah menjadi permata bagi kami. Cowok seistimewa ini, wajar bukan kalau aku menyukainya?
Walaupun begitu, sampai sekarang aku masih belum berani menyatakan perasaanku. Padahal banyak sekali kesempatan bagiku tuk mengungkapkannya karena sudah 3 tahun berturut-turut aku sekelas dengannya. Pernah kucoba beranikan diri tapi lidahku kelu saat berbicara dengannya. Kenapa sulit sekali bagiku untuk mengucapkan aku suka kamu? Padahal kan cuma tiga kata. Aaaarrrgghhh!!! Betapa bodohnya aku!
…
Hari ini pelajaran Pak Rio, Guru Geografi. Beliau cukup disukai anak-anak karena saat pelajarannya anak-anak cukup leluasa mengobrol. Tapi bagiku, soal-soal ulangannya adalah yang paling sulit setelah Fisika. Aneh ya? Tapi, begitulah kenyataannya.
Siang itu, Rena yang memulai pembicaraan.
"Menurut loe Yusaku itu orangnya seperti apa,sih?"
"Aku rasa dia itu orangnya lucu. Kenapa?"
Rena menggelengkan kepala. "Ngga, aneh aja. Banyak orang bilang Yusaku itu orangnya baik, cakep, dan lucu. Tapi, bagi gue dia adalah cowok yang paling menyebalkan yang pernah gue kenal."
"Bagaimana bisa?"
"Dia itu orangnya ngeselin abis. Dia selalu ngeledek dan ngejahilin gue. Coba loe bayangkan 2 hari yang lalu saat gue ditembak sama Kira. Dia ngelempar katak ke muka gue. Ya, jelas aja gue marah, terus gue kejar dia. Loe kan tahu kalau gue marah mengerikannya seperti apa? Gara-gara si brengsek Yusaku, Kira ngga jadi nembak gue. Hiks…" jelas Rena panjang lebar.
"Sudahlah, mungkin Tuhan punya rencana lain. Lagipula, aku rasa dia ngga sengaja" hiburku.
"Gue harap begitu, kalau ngga akan gue buat Yusaku nyesel telah berurusan sama gue."
"Eng… Ren, kamu ngga bermaksud balas dendam kan?" ujarku ragu-ragu mengingat sifat Rena yang mudah marah tapi juga mudah memaafkan.
"Emangnya kenapa? Wajar kan kalau gue pengen balas dendam?"
"Err.. maksudku... itu kan ngga baik"
"Kok ngga boleh sih? Kalau loe yang digituin gimana?" tanya Rena sewot. "Atau… Jangan-jangan loe suka sama Yusaku? Daritadi loe belain dia terus." tambah Rena dengan nada bercanda.
Saat itu aku ngga tahu harus menjawab apa, aku takut rahasiaku terbongkar. Tapi sayangnya, Rena dapat membaca ekspresi wajahku. "Eh, tapi… ini tidak benar kan?" tanya Rena penuh harap.
"Err… tidak… aku.. aku.. memang menyukainya"
"Oh my God!!! Sobat gue sendiri ternyata suka sama musuh bebuyutan gue alias cowok resek kayak…" kata Rena setengah teriak sambil menatapku tak percaya.
"Sstt, Ren!" kataku
Pak Rio berdeham keras di belakang kami.
"Eh.. Maaf, Pak!" jawab kami serempak dan kemudian kembali mengerjakan tugas dalam hening.
"Ya ampun, Ren! Malu-maluin banget sih tadi!" kataku berbisik.
Rena memelankan suaranya, "Loe juga sih segala ngga cerita!"
…
Saat jam istirahat pertama, Rena memandangi hasil ulangan matematika kemarin yang baru saja dibagikan. "50?! Ini sih parah!" katanya sambil menghela napas.
"Wah, kau berniat masuk SMA dengan nilai segitu?" kata Yusaku tiba-tiba.
"Jangan ngintip, Bego!" seru Rena.
"Yang bego itu kamu, kan? Apa nanti ngga masalah dengan ujian akhir dan testingnya?" balas Yusaku. "Gimana kalau aku ajari?" ajaknya.
"Daripada diajari sama loe mending guru privat gue monyet!" sahut Rena.
"Masih marah soal kemarin?"
"Ya iyalah! Saat itu gue lagi ditembak tapi loe malah.."
"Maaf, gue ngga sengaja! Saat itu gue disuruh Bu Yanti bawa katak tuk percobaan di Lab. Biologi"
Rena bangkit dari tempat duduknya, "Bohong! Loe sengaja kan?! Loe sengaja kan!"
"Wah, si pendek marah! Si pendek marah!"
"Awas!! Loe ngga bakal gue ampuni!!!" kata Rena seraya mengejar Yusaku.
"Mulai lagi deh." ujarku sambil tersenyum.
…
Keesokan harinya Yusaku kembali menjahili Rena. Ia memegang rambut rena yang berkuncir dua dan membuatnya mirip antena. 'Apaan sih?!" sahur Rena seraya menepis tangan Yusaku dari rambutnya. Tapi anehnya, saat mereka berdua bertatapan,Rena hanya diam dan kemudian pergi meninggalkan Yusaku. Saat itu aku merasa hal buruk akan terjadi, sesuatu yang tidak mengenakkan Habis, Rena jarang bersikap seperti ini.
"Rena, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa?"
"Jangan-jangan kamu suka sama Yusaku? Habis aneh, sih. Tadi waktu diganggu Yusaku kau diam saja tidak seperti biasanya."
"Ada-ada saja! Masa loe ngira gue suka sama dia? Habisnya gue udah capek ngeladenin dia. Gue bener-bener benci dia." jawab Rena sambil menggelengkan kepala.
"Ren! Ren!" kataku setelah sadar Yusaku berada di belakang Rena. "Pasti dia denger. Ngga apa-apa tuh?"
"Biarin, itu kenyataan kok."
"Jadi, Rena benar-benar benci? Syukur deh.. tadinya aku takut kalau kita bakal bersaing."
…
Pada akhir pekan, aku dan Rena berjanji pergi ke pusat perbelanjaan. Aku sudah tidak sabar untuk membeli baju dan piyama yang sama dengan Rena supaya bisa kembaran..Karena itu aku sekarang sedang dalam perjalanan menuju rumahnya supaya kami bisa berangkat bersama.
Saat tiba di sana, Mba Minah, pembantunya di Keluarga Rena memberitahukan bahwa Rena sedang sakit. Aku pun meminta izin untuk menjenguknya. Sebelumnya, Aku sudah pernah main ke rumah Rena sehingga sudah tidak asing lagi. Dari luar rumahnya terkesan tua. Tapi, perabot di dalamnya cukup mewah dan modern. Walau begitu rumah ini nyaman karena memiliki pekarangan yang luas dan indah. Di ruang tamu banyak dipajang barang-barang antik dari luar negeri. Maklum, ayah Rena adalah seorang pelaut sehingga sering keliling dunia dan hanya pulang ke rumah setidaknya sekali dalm setahun. Rena sebenarnya memiliki Kakak lelaki dan sekarang sedang kuliah di Australia sehingga Rena hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kamar Rena sendiri terletak di lantai dua.
Di kamarnya, aku melihat Rena sedang berbaring di tempat tidurnya.
"Hi, Ren!" sapaku
"Ooh.. kau Hikari" jawabnya. "Maaf ya, aku ngga bisa menemanimu ke Mall gara-gara aku mendadak sakit. Tadi aku sudah menelepon ke rumahmu. Tapi, mamamu bilang kau sudah pergi."
"Begitu ya? Ngga apa-apa kok. Aku mengerti. Tapi, kenapa ngga sms or telepon ke Hpku?" tanyaku
"Habis kan sayang pulsanya. Loe tahu sendiri kan gue tuh orang penting, banyak yang sms nih. Lagipula loe-nya juga mau ke sini. Ngapain gue repot-repot?" jawabnya bercanda.
"Dasar!" kataku sambil memukulinya dengan bantal.
"Hei! Hei! Jangan melakukan penganiayaian pada orang sakit, dong! Lagipula, gue kan cuma bercanda" katanya seraya nyengir lebar.
Setelah ngobrol cukup lama, aku pamit pulang. Dan ketika keluar dari rumah Rena, aku melihat Yusaku mondar-mandir di depan pagar. Apa yang sedang dia lakukan disini? Kuhampiri Yusaku, tapi pikirannya sepertinya tidak berada di tempat karena dia bahkan tidak menyadari aku sudah berada di depannya. "Hi, Yusaku. Apa yang sedang kau lakukan?"
"Eh.. kau Hikari! Gue pikir siapa.” katanya kaget. ‘ Gue.. gue cuma lagi jalan-jalan kok. Kebetulan rumah gue dekat sini." jawabnya
"Jadi, Yusaku tuh tetangganya Rena? Kok Rena ngga cerita ya?" batinku.
"Ooh..kupikir kamu mau menjenguk Rena." ujarku
"Rena sakit?!" tanyanya panik
"Ya. Tapi kurasa dia kan baik-baik saja. Kau tahu sifatnya, bukan?"
"Mungkin. Tapi, gue rasa gue ngga bisa jenguk dia. Mengingat dia benci sama gue." ujar Yusaku lirih.
"Mau kutemani? Mungkin Rena sudah tidak begitu marah padamu. Di kan tipe yang mudah marah tapi juga mudah memaafkan." hiburku
"Ngga. Trims. Mungkin lain kali saja. Ya sudah, sampai jumpa besok, Hikari!" katanya berpamitan.
"Ya. Sampai jumpa juga." gumamku pelan sambil memandangi sosoknya yang mulai menghilang. Hei, kalian percaya apa yang barusan terjadi?! Aku tadi ngobrol lama dengan Yusaku. Yah.. walaupun topiknya about Rena. Aku senang sekali. Trims, Rena! Mungkin ada untungnya juga kamu sakit.
…
Semenjak kejadian di depan rumah Rena, hubunganku dan Yusaku mulai mengalami progress. Kami sering smsan dan tentu saja topiknya ngga lagi tentang Rena. Aku pun jadi tahu banyak hal yang tadinya tidak kuketahui. Seperti warna favoritnya, hal yang dia benci, makanan favorit, acara TV kesukaannya, dan banyak hal lainnya.
Rena yang mengetahui hal ini pun cukup senang mendengarnya. Tapi, dia masih menggerutu dan merasa aneh kenapa aku bisa menyukai Yusaku. Karena di matanya, Yusaku adalah cowok menyebalkan. Walau begitu, dia tetap memberiku saran dan tips-tips mendekati cowok. Bagaimanapun juga, Rena lebih berpengalaman dalam hal ini karena dia sudah 3 kali berpacaran. Jadi, aku sih menurut saja.
Hanya saja terkadang, aku mengira Rena dan Yusaku saling menyukai. Karena walaupun mereka sering bertengkar, mereka memahami satu sama lain. Aku iri melihatnya. Saat kutanyakan hal itu pada Rena. Dia cuma bilang kalau meraka sudah kenal sejak masih SD dan Rena biasanya kembali meyakinkanku kalau dia benar-benar membenci Yusaku. Sehingga kubuang pikiran itu jauh-jauh.
Tapi, ternyata dugaanku meleset. Karena seminggu setelah kejadian itu, hal yang aku takutkan terjadi. Setelah bel istirahat berbunyi, Yusaku melirik Rena dan kemudian Rena membalasnya dengan anggukan. Setelah itu mereka angkat kaki dari kelas. Aku yang penasaran melihat gelagat mereka mengikuti mereka dari belakang. Sepertinya mereka hendak ke belakang sekolah. Apa yang mau mereka lakukan di sana? Terus ngapain Yusaku bawa-bawa gitar segala?
Setibanya di sana, aku bersembunyi dan mendengar Yusaku berkata "Rena, maaf telah mengganggumu. Gue tuh ngga pandai bicara jadi.." Yusaku memainkan gitarnya dan menyayikan reff lagu Club 80's "Dari Hati". Setelah itu, Yusaku berkata hal yang tidak mau kudengar. "Rena, aku menyukaimu.." Hening.
"Pasti kamu menganggap gue aneh. Gue tahu kamu benci sama gue. Tapi, terima kasih sudah mau meluangkan waktumu." Yusaku melangkahkan kakinya tuk pergi.
Rena mengejarnya dari belakang , berusaha menyambar lengan Yusaku tuk menghentikan langkahnya tapi tidak berhasil sehingga dia berteriak "Bukan! Sebenernya aku suka kamu."
Hatiku bagai tersambar petir mendengar pengakuan Rena. Aku pun segera berlari. Aku terlalu takut untuk mengetahui hal yang akan terjadi selanjutnya jika terus berada disana. "Dasar pengecut! Patah hati sebelum mengutarakan isi hati! Aku benci Rena! Benci!!! Dia telah membohongiku!! Dasar pembohong!!!" teriakku dalam hati.
…
Setelah kejadian itu, aku tidak menyapa ataupun berbicara dengan Rena selama beberapa hari. Rena yang menyadari perubahan sikapku mengajakku untuk berbicara.
'Hikari, maaf! Apapun salah gue, gue minta maaf!"
"Pura-pura ngga tahu lagi." ujarku dalam hati. "Aku benci kamu! Kamu tahu kalau aku suka sama Yusaku tapi kamu malah mengkhianatiku. Dasar pengkhianat!!" teriakku
Wajah Rena berubah pucat pasi kemudian dia mencoba menjelaskan. "Gue tahu,Ri! Makanya gue ngga bilang sama siapa-siapa kalau gue suka sama Yusaku. Maafin gue..Ri!"
"Termasuk sama sahabatmu sendiri?! Terserah kamu! Aku ngga mau tahu!" ujarku geram seraya membalikkan badan meninggalkan Rena.
"Gue percaya sama loe, Ri! Gue ngga mau hubungan kita rusak gara-gara masalah ini." teriak Rena dari belakang.
Aku pura-pura tidak mendengar dan terus berjalan. Kupercepat langkahku karena takut air mataku keburu tumpah. Aku tidak mau terlihat sedih di depan Rena.
…
Hari Minggu ini aku bermalas-malasan di kamar. Hening. Entahlah… aku benar-benar tidak tahu kata apa yang tepat mewakili perasaanku saat ini. Karena perasaanku begitu rumit dan kompleks. Aku sangat membutuhkan teman curhat. Tapi, aku tidak punya sahabat lagi selain Rena. Selama ini aku menutup diriku dari teman-teman. Dan bagiku selama ini Rena ada di sampingku itu sudah cukup.
Bagiku, ini terlalu kejam. Aku harus bagaimana? Aku sangat ingin melupakan yang terjadi pada hari itu tapi tidak bisa. Benakku penuh dengan kenangan bersama Yusaku. Aku masih menyimpan wajahnya yang penuh senyum. Dia masih bersemayam di hatiku. Hatiku terasa sakit dan tertekan. Aku tidak dapat bernapas dan tubuhku seperti mati rasa. Aku hanya dapat diam terpaku.
Aku juga berandai-andai, jika hubunganku dan Yusaku tidak mengalami kemajuan mungkin aku tidak akan begitu sedih dan tidak akan begitu marah sama Rena. Banyak pertanyaan berputar di kepalaku. Tapi, alih-alih aku mendapat jawaban. Hal ini hanya membuatku bertambah sedih, marah, capek dan tentu saja pusing.
"Hikari, ada telepon dari ibunya Rena." panggil Mama, membuyarkan lamunanku. "Ya, Ma!" sahutku sambil beranjak dari tempat tidur. Kuambil gagang telepon yang disodorkan Mama kepadaku.
"Halo? Ada apa,Tante?" tanyaku.
"Begini, semenjak pulang sekolah kemarin Rena terus mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Berkali-kali dinasehati tapi dia tidak mau dengar. Apa mungkin dia punya masalah? Tante bingung sekali. Kalau Hikari datang mungkin dia mau dengar. Hikari, Tante minta tolong padamu".
Aduh! Gimana nih? Aku ngga tahu harus jawab apa. Ngga mungkin kan aku bilang ngga dan alasanya itu gara-gara lagi berantem sama Rena.
"Hikari? Hikari? Kamu masih disitu kan?"
"Iya, Tante! Tadi maaf ya! Hikari masih disini kok. Tenang ja, Hikari bakal main ke rumah."
"Makasih ya! Hikari memang anak yang baik. Tante berterima kasih padamu."
Kututup gagang telepon kemudian segera ganti baju dengan gontai. Habis mau bagaimana lagi. Aku kan ngga mungkin bilang tidak. Lagipula, aku tidak mau para orang tua tahu masalah ini, nanti bisa-bisa mereka ikut campur dan masalahnya jadi tambah rumit.
…
"Assalamu'alaikum." sahutku sambil mengetuk pintu.
"Walaikumsalam. Oh.. Hikari, mari masuk!" jawab Tante. "Tante berterimakasih atas kedatanganmu. Oh ia, ngomong-ngomong Hikari tahu kenapa Rena bersikap seperti ini?"
"Ngga, Tante." jawabku sambil menggelengkan kepala
Aku bisa melihat kekhawatiran di wajahnya walau beliau berusaha tersenyum sewajar mungkin. "Kalau begitu, Tante antar kamu ke kamar Rena ya!"
Aku mengangguk pelan dan mengikuti.beliau dari belakang.
Ketika tiba di depan kamar Rena, Tante mengetuk pintu. "Rena, ini ada Hikari. Buka pintunya, Sayang!". Rena membuka pintu, mukanya sembab dan pucat sementara matanya merah serta bengkak. Rena menatapku tak percaya, mungkin saat ini perasaannya sedang bercampur aduk. Tapi aku dapat melihat ada kebahagiaan terpancar dari sinar matanya dan membuatnya ingin berteriak kegirangan. Aku buru-buru memberi isyarat untuk berbicara di dalam. Rena menggangguk dan meminta ibunya untuk meninggalkan kami berdua.
"Hikari.. gue bener-bener minta maaf!" katanya sambil bercucuran air mata. "Akan gue lakukan apa pun. Gue ngga mau persahabatan kita hancur gara-gara ini. Gue udah nolak Yusaku kok. Bahkan kalau perlu gue minta dia untuk jadian sama loe." katanya lirih. "Hikari… please… maafin gue!" dia menambahkan.
Aku diam terpaku melihat Rena. Sebenarnya aku marah padanya tapi aku tidak menyangka Rena begitu menderita karena bertengkar denganku. Aku memang pernah mendengar lebih mudah memaafkan seorang musuh daripada sahabat. Karena musuh selalu berbuat salah di mata kita sehingga saat dia berbuat salah kita melihat hal itu sebagai hal wajar jadi akan lebih mudah dimaafkan. Berbeda dengan sahabat, karena dia selalu benar, akan sulit memaafkan jika dia berbuat salah. Dulu saat pertama kali mendengarnya, aku menganggap hal itu konyol. Tak pernah kusangka hal itu benar. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Rena yang kukenal selalu tersenyum. Untuk kali ini, kembalikanlah Rena seperti semula. Kuseka air matanya. "Rena, sudahlah. Berhenti menangis. Aku... aku memaafkanmu".
Orang-orang bilang Love is blind. Dan aku benar-benar buta. Aku begitu bodoh untuk apa aku marah pada Rena? Kemarahanku tidak akan mengubah apa pun yang terjadi. Yusaku tidak akan menyukaiku. Aku menghela napas sejenak dan kembali merenung. Entahlah, mungkin dari awal, hati kecilku telah memberitahuku tapi aku terlalu takut menerima kenyataan ini dan terlalu angkuh untuk mengakuinya.
Rena mengusap air matanya dan melongo tak percaya, tampangnya seperti orang bodoh. Kemudian dia memelukku erat sambil menangis. Dengan terbata-bata dia berusaha mengucapkan terima kasih. Kaku, kucoba lingkarkan tanganku untuk memeluknya. Membelai rambutnya yang hitam.
Aku juga senang kami berbaikan tapi hatiku masih sakit. Kuharap aku dapat melupakan Yusaku. Ini kulakukan demi kebaikanku sendiri dan untuk Rena.
…
Begitu masuk sekolah, Rena kembali ceria seperti biasa. Ya, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Walaupun hubungan kami jadi sedikit kaku. Tapi, sangat sulit untuk melupakan Yusaku karena setiap hari aku bertemu dengannya. Hal ini membuatku susah tidur. Kepalaku rasanya mau pecah.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan melangkahkan kakiku ke kantin sendirian. Sendirian?! Sebentar, Rena mana ya? Aku berputar-putar mencarinya. Tak lama kemudian pertanyaanku terjawab. Aku melihat Rena dan Kira di depan kelas 9-4, yang merupakan kelas Kira. Aku senang jika melihat mereka berdua akrab. Aku hampir berteriak memanggil Rena. Tapi sesaat kemudian, aku membatalkan niatku karena melihat Rena menangis. Dengan perlahan aku mendekat. Aku mendengar suara Rena dalam isaknya.
"Ra, padahal gue dah berusaha untuk ngelupain dia. Tapi, hati gue masih sakit, Ra! Gue terlalu pengecut! Setiap kali Yusaku nanya kenapa gue nolak dia, gue selalu berkilah. Gue terlalu takut. Padahal gue pengen berada di sisi Yusaku. Tapi gue takut kehilangan Hikari!" tangis Rena pecah dan Kira berusaha menghiburnya. "Ren, kalau Hikari emang sahabat loe, dia ngga bakal ngebuat loe menderita kayak gini."
"Tapi, Ra.. Hikari tuh sahabat gue. Gue ngga mau kehilangan dia."
"Ren, seorang sahabat itu pasti ngerti. Kalau ngga bukan sahabat namanya."
"Ngga! Kami sahabat! Gue percaya sama Hikari."
"Kalau gitu loe ngga harus nyembunyiin perasaan loe. Iya kan? Lagipula menurut cerita loe, kalian berdua-dua sama-sama sedih kan? Bukankah itu tandanya kalian itu saling sayang dan ngga mau menyakiti satu sama lain. Gini deh, kalau kalian emang sahabat sejati, hal ini akan berlalu seiring berjalannya waktu. Udah, jangan nangis! Nanti orang-orang nyangka gue cowok yang tega bikin cewek nangis." bujuk Kira.
Tangis Rena terhenti. "Mungkin loe bener. Tapi, gue ngga tahu apa gue bisa ngelakuinnya. Thanks ya, Ra! Berkat loe gue jadi sedikit lega."
Aku cepat-cepat beranjak dari situ sebelum Rena menyadari aku menguping pembicaraannya. Selain itu, aku tidak mau mendengar lebih jauh lagi. Sementara itu, perkataan Kira terus terngiang di kepalaku. "Sahabat itu pasti ngerti. Kalau ngga bukan sahabat namanya.". "Sahabat itu pasti ngerti. Kalau ngga bukan sahabat namanya.". " Sahabat itu pasti ngerti."
…
Kupandangi PR Matematika yang tergeletak di meja belajarku. Belum satupun kukerjakan. Bukannya aku tidak mau mengerjakan atau soal-soalnya terlalu sulit tapi aku tidak bisa berkonsenterasi sama sekali. Kejadian tadi siang terus memenuhi pikiranku. Sekarang aku merasa aku adalah sahabat terburuk di dunia.
Aku mengambil air wudhu dan pergi shalat. Ketenangan mulai menyusupi hatiku. Saat itu aku teringat kata-kata bijak yang diucapkan oleh Johan Wolfgang "When a friend is in trouble. Don't ask him what you can do but think what you might do to help him". Yang artinya "Saat seorang teman dalam masalah. Jangan bertanya padanya apa yang dapat kau lakukan tapi berpikirlah apa yang mungkin kau lakukan tuk menolongnya". Sudah kuputuskan apa yang sebaiknya kulakukan dan kuharap keputusan ini tepat. Ya Allah, bantulah aku.
…
"Ren, ada yang harus kubicarakan denganmu." kataku serius begitu menyimpan tasku. Wajah Rena menunjukan bahwa dia terkejut melihat gelagatku tapi dia tidak berkomentar apapun dan menggangguk.
"Um.. aku mulai dari mana ya?"
"Ada apa?" tanyanya keheranan.
Aku menghela napas. "Begini, sudah beberapa hari ini aku memikirkannya dan aku putuskan untuk merestui hubunganmu dengan Yusaku. Dengan kata lain, aku merelakannya."
Hening. Aku menunggu Rena bicara atau melakukan sesuatu tapi Rena tidak memberikan reaksi apapun. Aku pun kembali membuka mulut. "Gimana, Ren? Kamu senang kan?"
Rena memandangku takjub tidak percaya, sejurus kemudian pertanyaan-pertanyaan meluncur dari mulutnya. "Loe serius kan? Loe ngga marah? Loe ngga cemburu? Loe yakin? Ngga nyesel? Loe ngga kerasukan kan? Loe.."
Aku meletakkan telunjukku di mulutnya agar dia berhenti bertanya dan kemudian aku mengangguk sambil tersenyum. Rena ternganga. Ia meloncat kegirangan. "Hug me!" teriaknya. Teman-teman langsung menatap kami kebingungan. Tapi siapa peduli, kami tetap berpelukan.
"Thank you so much! Thanks a million! Thanks a lot! Arigatou! Hatur nuhun! Hikari, kamu memang sahabatku."
"Don’t mention it."
Kuharap ini yang terbaik. Ya Allah, bantulah aku melupakan Yusaku. Aku tahu mungkin nanti aku kan menyesalinya tapi saat ini aku ingin membuat Rena bahagia dan aku rasa ini adalah jalan keluar terbaik.
Suara Rena memecahkan keheningan. "Padahal tadinya gue udah ngerelain Yusaku lho... Tapi.. gimana gue ngomong ke Yusaku? Terus.. emang dia masih mau sama gue setelah gue nolak dia?"
Oow.. aku lupa memikirkan yang satu itu. Kami saling memandang dalam bingung.
“Sudahlah... Mungkin lebih baik kita berdua merelakannya. Benar kan?” usul Rena.
Aku tidak tahu harus menjawab apa atas usul Rena. Tapi, akhirnya aku mengangguk pelan. Dan kemudian Rena tersenyum.
…
"Hi!" sapaku pada Kira saat berpapasan di lorong sekolah.
'Hi juga!" balasnya.
Aku hampir saja melangkahkan kakiku tapi aku teringat sesuatu.
"Eh, Ra. Bisa bicara sebentar?"
"Tentu saja"
"Sebenarnya beberapa hari yang lalu tanpa sengaja aku mendengarkan pembicaraanmu dengan Rena."
"Ah!" kata kira tanpa sadar dan mulai salah tingkah. Dia sepertinya tidak tahu harus berbuat apa.
"Maaf. Tapi, ada satu hal yang membuatku penasaran. Kamu menyukai Rena bukan? Tapi, kenapa kamu menyetujui hubungannya dengan Yusaku?"
"Hm.. sebenarnya simple aja. Bagiku, Cinta adalah sesuatu yang fitrah. Kita tidak dapat memungkiri hadirnya cinta. Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. Hanya perlu diingat, cinta itu milik Allah dan bermuara kepada-Nya.” Aku benar-benar kagum mendengar ucapan Kira. Ngga kusangka ternyata dia itu cowok yang bijaksana.
“Dan satu hal lagi yang perlu diingat bahwa patah hati adalah hantu yang berkali-kali datang saat kamu hidup. Bukan tuk dihindari, ditakuti, tapi disikapi. Saat kamu mampu menghadapinya. Kamu setahap menjadi Pencinta Sejati."
"Subhanallah.. kata-katamu benar-benar keren! Kau ternyata bijaksana juga ya?" tanyaku takjub.
"Iya dong. Gue gitu lho.” Kira nyengir lebar. “Hehe.. becanda. Sebenarnya itu bukan kata-kata gue. Gue ngedapetinnya saat membaca novel Love Story karya Leyla Imtichanah."
"Dasar!" kataku. "Oh ia, satu hal lagi. Kenapa waktu itu kamu batal nembak Rena?"
"Err… Sebenarnya.. Jangan bilang siapa-siapa ya!! Gue tuh alergi sama katak. Pas ngeliat katak, gue bisa langsung muntah-muntah atau gatal-gatal di seluruh tubuh. Makanya saat itu gue cepet-cepet lari. Gue kan malu kalau muntah di depan Rena. Selain itu, nanti dia nyangka gue takut sama katak padahal kan gue alergi. Alergi sama takut beda, kan?"
"Hahaha… Kamu tuh aneh ya?"
Wajah Kira bersemu merah. Aku pun menghentikan tawaku. "Maaf, sudah menertawakanmu. Tapi, aku benar-benar berterima kasih padamu. See you!" kataku beranjak pergi.
"Eh, mau kemana?" teriak Kira.
"Mau ke perpus." sahutku.
"Ooh.." mulutnya membentuk huruf O. "Oh ia, soal Yusaku biar aku yang urus. Rena sudah cerita padaku." Teriaknya lagi.
"Thanks! Bye!" jawabku.
"Bye!" balasnya.
…
Dengan malas aku pergi ke perpus. Kalau bukan karena tugas karya tulis, ngga bakal deh aku menginjakkan kakiku ke sini. Kupandangi buku-buku di rak satu persatu. Tapi, aku masih belum menemukan buku yang kucari.
"Lagi nyari buku apa?" tanya seorang cowok tiba-tiba dan membuatku kaget.
Aku celingukan karena mungkin dia tidak bicara padaku. Tapi, saat itu hanya ada kami berdua. "Kau bertanya padaku?"
Ia mengangguk sambil tersenyum. "Hm.. Sebenarnya aku ngga tahu judul bukunya. Apapun boleh, selama tentang perkembangan teknologi."
"Oh.. Sebentar ya!" katanya dan kemudian menghilang dari pandangan. Tak lama dia muncul dengan buku yang kucari.
"Thanks ya!" kataku.
"Sama-sama. Ngomong-ngomong, kau jarang ke perpus ya?"
Aku bingung mau menjawab apa. Ngga mungkin ngaku habis malu-maluin. Jadi, aku cuma nyengir lebar. Tapi, kalau diperhatikan cowok ini cakep juga. Kok bisa aku ngga melihat dia selama 3 tahun ini? Kemana aja ya aku selama ini? Atau jangan-jangan dia murid baru?
"Oh ia, namaku Adagio Higuchi." katanya sambil mengulurkan tangan.
"Hikari Kiara" balasku.
"Sudah tahu kok."
"Ng?". aku menatapnya heran.
"Mungkin kamu sudah lupa tapi kita pernah bertemu saat MOS. Saat itu kamu kesulitan membawa barang-barang dari ruang peralatan. Kebetulan aku lewat dan membantumu. Ingat?" jelasnya.
Aku salah tingkah. "Oh My God! Aku kok ngga ingat ya?!" seruku dalam hati. Dengan melihat raut wajahku, kayaknya Adagio mengerti karena kemudian dia berkata "Sudah lupa ya?"
"Maaf ya!" jawabku dengan nada menyesal.
"Ngga apa-apa kok. Yang penting kamu tidak berubah sama sekali. Aku suka kamu yang seperti ini." Ujarnya.
Aku menatapnya tidak percaya. Kalian dengar kan yang barusan diucapkannya? Aku ngga salah dengar kan? Dia bilang dia suka padaku. Bagaimana bisa?! Entahlah.. mungkin kalian mengira aku GR tapi suer deh aku melihat wajah Adagio berubah merah padam dan kemudian dia meminta izin tuk pergi.
Aku yang belum sepenuhnya memahami yang terjadi mengejarnya. Aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama. Karena mungkin ini kesempatan kedua yang Allah berikan kepadaku."Adagio!!" teriakku. Adagio menghentikan langkahnya dan membalikan badan ke arahku.
"Ng.. apa aku bisa minta nomor Hpmu?" tanyaku.
Senyuman menghiasi wajah Adagio dan kemudian kami bertukar nomor Hp. Mungkin saja kisah cintaku baru saja dimulai.
…
Teet! Teet! Teet! Bel tanda pulang sekolah baru saja berbunyi.
"Hikari, kenapa sih daritadi Loe senyum-senyum sendiri? Lagi senang ya?Ada apa nih?" tanya Rena.
Aku menggeleng. "Tunggu aja tanggal mainnya. Nanti juga kamu tahu".
"Ya udah. Tapi, nanti jangan nyesel karena ngga cerita sama gue ya! Sampai besok!"
"Dasar aneh!" sahutku.
"Aneh?" tanyanya dengan muka polos sambil mengerutkan dahi.
"Ya!" aku tersenyum jahil sambil menyentil kepalanya. "Makanya aku mau jadi sahabatmu. Tuh datang satu lagi orang aneh." Aku menunjuk Yusaku yang sedang berjalan ke arah kami.
"Sudah kuduga kamu di sini. Tahun depan sudah SMA, badannya tinggian dikit!" ledek Yusaku.
"Uuggh.." kata Rena geram sambil pasang muka cemberut.
Aku cekikikan. "Kalian pasangan yang aneh."
Rena dan Yusaku berpandangan heran dan tersenyum penuh arti. "Hikari, denger ya! Gue ngga mungkin jadian sama cowok rese kayak Yusaku." Kata Rena dengan nada mengejek.
"Huu.. siapa juga yang mau jadian sama loe? GR banget sih!" balas Yusaku ngga mau kalah. Rena mendelik marah mendengarnya.
Aku bergantian memandang mereka berdua, keheranan. Karena kupikir akan ada pertengkaran seperti biasa. Tapi, ternyata tidak! Rena yang mengerti bahwa aku kebingungan memilih tuk bicara. "Gini, Hikari sayang. Gue sama Yusaku sudah memutuskan saat ini kami berdua mau fokus sama pelajaran. Jadi sekarang cowok rese ini tuh guru privat gue. Atau bisa dibilang hubungan kami masih sebatas teman. Liat nanti deh soal jadian apa ngga” Yusaku mengangguk “Tapi, doain aja ngga. Pasti gue dapat mimpi buruk sampai mau jadian sama dia.". Yusaku melirik tajam pada Rena karena omongannya yang terakhir.
Aku tidak percaya dengan yang mereka katakan. "Kalian benar-benar pasangan yang aneh. Aku ngga mengerti jalan pikiran kalian. Maksudku, setelah semua hal yang terjadi dan akhirnya hanya seperti ini?” aku menggelengkan kepala. “Pantas aja kalian cocok." kataku terheran-heran. Rena dan Yusaku cuma mengangkat bahu dan saling menatap seolah dunia milik mereka berdua, sementara yang lain ngontrak. Bikin kesel orang yang melihat.
Tapi setelah itu kami bertiga tertawa terbahak-bahak. Kalian tahu? Mungkin benar kata orang bahwa sahabat sejati seperti intan yang sulit tenggelam dan sulit didapat. Tapi cinta kan masih bisa dicari. Intinya, lebih sulit mencari sahabat dibandingkan mencari pacar.
Yusaku berbisik di telingaku "Trims! Gue berhutang sama loe!"
Aku tersenyum mendengarnya. Yang jelas saat ini aku merasa aku adalah gadis paling beruntung sedunia. Bahkan ini akhir yang terlalu bagus untukku. Ini lebih dari yang terbaik. Ya Allah, Thank you so much!!!!
THE END