Top Social

ANALISIS TOKOH HARUN DALAM LASKAR PELANGI

|



PENDAHULUAN
Laskar Pelangi adalah film yang disutradarai Riri Riza dan diadaptasi dari novel Andrea Hirata dengan judul yang sama. Alur film ini adalah campuran, namun, didominasi alur maju. Film ini menceritakan perjuangan sepuluh anak miskin yang berjuang meraih pendidikan. Mereka adalah Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Kucai, A Kiong, Syahdan, Borek, Trapani, dan Harun. Ibu Muslimah atau bu Mus, guru sepuluh anak tersebut, sering memanggil mereka dengan sebutan Laskar Pelangi. Hal itu disebabkan mereka suka memandangi pelangi setelah hujan turun. Selain itu, karakter sepuluh anak tersebut digambarkan seperti pelangi.
Film Laskar Pelangi diawali adegan saat hari pertama masuk sekolah.  Konflik seolah terjadi di awal film karena diceritakan SD Muhamadiyah Belitung terancam dibubarkan oleh Departemen Pendidikan dan Budaya Sumatera Selatan jika muridnya tidak mencapai jumlah sepuluh orang. Saat Pak Harfan, kepala sekolah SD Muhamadiyah, akan mengumumumkan sekolah akan ditutup karena murid yang mendaftar baru berjumlah sembilan orang, Harun datang bersama ibunya untuk mendaftar. Harun pun menjadi penyelamat. Tanpa Harun, kesembilan temannya mungkin tidak akan memperoleh pendidikan di SD Muhamadiyah. Mulai hari itulah, perjuangan sepuluh anak-anak tersebut dimulai.
Film ini sarat akan pesan. Salah satu pesannya dan merupakan pesan utama adalah “Pendidikan untuk semua”. Film ini menyadarkan kita bahwa anak-anak miskin dan anak berkebutuhan khusus (ABK) berhak mendapat pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”. Sayangnya, pada praktiknya, tanpa kita sadari, kita kurang memperhatikan pendidikan untuk anak-anak miskin dan ABK. Kondisi tersebut digambarkan oleh film Laskar Pelangi. Film itu menggambarkan bagaimana para pengajar Muhamadiyah dan Laskar Pelangi menghadapi pandangan sinis dari masyarakat sekitar.  Hal itu disebabkan masyarakat Belitung tidak melihat adanya harapan masa depan yang cerah bagi anak-anak miskin dan ABK di Belitung. Di Belitung, hanya anak-anak dengan status sosial ekonomi menengah ke atas yang pergi ke sekolah, sementara sebagian besar anak-anak miskin di Belitung tidak pergi bersekolah, melainkan menjadi buruh membantu penghasilan orang tua mereka.
Berdasarkan pesan utama dalam film Laskar Pelangi,  penulis tertarik menganalisis tokoh Harun. Harun merupakan ABK dengan keterbatasan mental retardation. Penulis kagum melihat semangat Harun untuk bersekolah dengan keterbatasan yang dia miliki. Selain itu, tokoh Harun merupakan penyelamat Laskar Pelangi. Tanpa Harun, tidak mungkin ada cerita mengenai Laskar Pelangi. Harun layaknya kunci yang membuka pintu menuju pendidikan bagi sembilan temannya.
Harun disekolahkan di SD Muhamadiyah oleh ibunya karena tidak tersedianya SLB di daerah tersebut. SLB terdapat di pusat Pulau Bangka dan terlalu jauh untuk menempuh SLB tersebut. Ibu Harun menyadari Harun berhak mendapat pendidikan. Usia Harun saat pertama masuk sekolah tidak sama antara film dan Novel. Di Film, Harun berusia sepuluh tahun saat duduk di bangku kelas satu SD. Sementara di Novel, Harun berusia lima belas tahun saat mendaftar masuk di SD Muhamadiyah.
Dalam film Laskar Pelangi, Harun digambarkan murah senyum, senang berlari, berteman baik dengan Sahara, sering menceritakan kucingnya, dan bertanya kapan liburan sekolah. Gambaran yang hampir serupa juga ditemukan pada novel. Dalam novel, Harun digambarkan tidak bisa menulis,santun, pendiam, murah senyum, hobi menguyah permen asam jawa, kesulitan memahami pelajaran yang diajarkan ibu Muslimah, sering bertanya kapan libur lebaran, menceritakan kucing belang tiga miliknya secara berulang-ulang kepada Sahara, dan bercita-cita menjadi Trapani.
           
LANDASAN TEORI
Pendidikan Mental Retardation 
            Mental retardation atau tunagrahita adalah keterbatasan yang signifikan dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang terwujud melalui kemampuan adaptif konseptual, sosial, dan praktikal. Keterbatasan itu muncul sebelum usia 18 (American Association on Mental Retardation, dalam Hallahan dan Kaufman, 2006). Sementara Santrock (2011) mendefinisikan tunagrahita sebagai “... a condition with an onset before age 18 that involves low intelligence (usually below 70 on a traditional individually administered intelligence test) and difficulty in adapting to everyday life” .Berdasarkan rentang IQ, anak tunagrahita dapat digolongkan menjadi mild, moderate, severe dan profound.
            Program pendidikan untuk menangani anak tunagrahita beragam, mulai dari memisahkan mereka di dalam kelas khusus hingga memasukkan mereka ke dalam kelas inklusi, dimana para anak tuna grahita belajar dan berkegiatan di kelas yang sama dengan anak lainnya. Namun, belakangan ini menurut Westling dan Fox (dalam dalam Hallahan dan Kaufman, 2006), program pendidikan yang sering diberikan untuk anak tunagrahita ada dua macam, yaitu pendidikan inklusi dan pengajaran tentang kemampuan-kemampuan yang berguna serta penekanan pada determinasi dini.

Perkembangan Sosial Emosional
            Dua teori besar yang menjelaskan tentang perkembangan sosial dan emosional individu. Teori pertama adalah Ecological theory yang dikemukakan oleh Urrie Brofenbrenner. Menurutnya, terdapat lima sistem yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap individu, yaitu microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosytem. Bronfenbrenner  percaya sistem lingkungan, mulai dari interaksi interpersonal hingga budaya mempengaruhi perkembangan anak. Menurut Brofenbrenner, anak paling banyak menghabiskan waktu dalam microsystem, sehingga individu-individu yang terlibat di dalam sistem tersebut, seperti orangtua, guru, dan peer memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan self concept, self esteem, dan perkembangan moral anak.  Teori kedua adalah Psychosocial theory yang dikemukakan oleh Erik Erikson. Menurut Erikson perkembangan psikososial individu merupakan proses bertahap, dimana pada setiap tahap terdapat virtue yang harus dicapai dan krisis yang harus dilewati. Jika berhasil, hal tersebut akan mengantarkan individu pada tahap selanjutnya. Tahap perkembangan psikososial tersebut terdiri dari trust vs mistrust, autonomy vs shame and doubt, initiative vs guilt, industry vs inferiority, identity vs identity confusion, intimacy vs isolation, generativity vs stagnation, dan integrity vs despair

Motivasi
Motivasi adalah the processes that energize, direct, and sustain behavior (Santrock, 2011).  Motivasi dibagi dua berdasarkan sumbernya, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik berasal dari dalam individu sementara motivasi ekstrinsik berasal dari luar diri individu.
            Terdapat lima perspektif motivasi, yaitu behavioral perspective, trait perspective, humanistic perspective, cogitive perspective, dan social perspective. Behavioral perspective menekankan pada external reward dan punishment dalam menentukan motivasi individu. Trait perspective melihat bahwa sumber motivasi adalah sesuatu yang relatif menetap dalam karakter tiap individu.  Humanistic perspective menekankan pada kapasitas individu untuk mengembangkan dirinya (personal growth), kebebasan untuk memilih, dan kualitas positif yang dimiliki oleh tiap individu. Pada perspektif humanistik, motivasi seseorang didasari hierarki kebutuhan Maslow. Kebutuhan tertinggi dari setiap individu adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebelum sampai pada tahap tersebut, individu harus memenuhi kebutuhan lain yang berada pada tahap lebih rendah, yaitu kebutuhan physiology, safety, love and belongingness, self-esteem, cognitive, dan aesthetic. Cognitive perspective berfokus pada competence motivation, yaitu motivasi internal individu untuk mencapai, memberikan atribusi, dan keyakinan bahwa mereka dapat mengontrol lingkungannya. Social perspective menekankan pada kebutuhan individu untuk berafiliasi atau berhubungan dengan individu lain.


ANALISIS
Hal yang disayangkan adalah baik di dalam film maupun novel, tidak diceritakan secara spesifik kategori tunagrahita yang dimiliki Harun. Jika melihat karakteristik yang dimiliki Harun, kemungkinan besar Harun termasuk mild category atau mampu didik. Hal ini disebabkan karakteristik Harun cocok dengan karakteristik mild category, yaitu masih dapat mengikuti pelajaran di sekolah, rentang perhatian pendek sehingga sulit berkonsentrasi, kurang dalam hal kecepatan, kekuatan, dan koordinasi, memperlihatkan rasa malu atau pendiam (Mangungsong, 2009).
Harun beruntung bersekolah di SD Muhamadiyah karena Bu Mus memiliki pola pikir pendidik inklusi walaupun SD Muhamadiyah sebenarnya bukan sekolah inklusi. Bu Mus memberi perlakukan khusus kepada Harun, seperti memberikan kriteria penilaian yang berbeda dengan teman-temannya. Salah satu contoh perlakuan khusus yang diberikan Bu Mus adalah saat pemilihan ketua kelas. Harun yang belum bisa menulis tetap dapat berpartipasi dengan menyebutkan nama yang dia pilih. Harun juga diuntungkan kondisi kelas yang inklusi. Menurut Mangungsong (2009), anak tunagrahita akan menunjukkan perilaku sosial yang lebih baik jika banyak diikutkan untuk berinteraksi dengan anak lain. Hal tersebut didukung hasil penelitian Parmenter, T. R, Einfeld, S. L., Tonge, B. J., dan Dempster, J. A. (1998) yang menunjukkan anak dengan intellectual disability yang bersekolah di sekolah khusus memiliki lebih banyak masalah perilaku dan emosi dibanding anak dengan intellectual disability yang bersekolah di sekolah inklusi.
Masalah lain yang dihadapai anak tunagrahita adalah kesulitan mendapat teman dan mempertahankan hubungan dengan teman tersebut (Mangungsong, 2009). Hal itu disebabkan mereka tidak tahu cara memulai interaksi sosial dengan orang lain dan mereka menampilkan tingkah laku yang membuat teman-temannya menjauh, seperti tidak fokus dan mengganggu. Perilaku serupa sempat ditampilkan Harun. Namun, Harun tidak mengalami penolakan dari teman-temannya karena mereka memahami kondisi Harun. Dalam novel, diceritakan Harun pernah mengganggu latihan band Mahar dengan memainkan drum tidak sesuai intruski Mahar. Namun, Mahar tidak memarahi Harun, melainkan membimbing Harun untuk bermain dengan benar. Hal serupa juga dilakukan Ikal. Harun memberi semangat Ikal, Mahar dan Lintang yang mengikuti perlombaan cerdas cermat, namun seolah memberi dukungan ke tempat lain. Ikal memahami bahwa Harun mengalami kesulitan untuk fokus pada satu hal dalam jangka waktu lama sehingga tidak marah pada perilaku Harun. Penerimaan teman-teman Harun menguntungkan bagi Harun karena siswa yang mengalami penolakan dari peer-group cenderung memiliki self-esteem yang rendah, sementara siswa yang mendapatkan penerimaan dari peer-group cenderung memiliki self-esteem yang tinggi (Santrock, 2011).
Masalah anak tunagrahita ketika di sekolah adalah mereka sering mengalami learned helpeness dan berakibat rendahnya motivasi berprestasi serta self-concept mereka menjadi buruk (Mangungsong, 2009).Untuk mengatasi hal tersebut, Bu Mus melakukan scaffolding, teknik mengajar yang di dalamnya memberikan bantuan terhadap pembelajaran anak disesuaikan dengan level pembelajaran anak. Scaffolding dilakukan oleh Bu Mus sendiri atau melalui peer-tutoring. Pada beberapa adegan film terlihat bahwa saat proses pembelajaran, Harun dibantu memahami pelajaran oleh teman-teman yang mendapat jatah untuk duduk sebangku dengannya. Selain itu,  bu Mus melakukan strategi dengan memberikan tugas yang sama pada Harun namun dengan kriteria penilaian yang berbeda. Misalnya, Harun pernah disuruh membuat prakarya. Namun, Harun malah membawa tiga botol kecap. Hal tersebut tetap diapresiasi oleh bu Mus.
Kesulitan belajar yang dialami anak tunagrahita adalah masalah memusatkan perhatiannya. Anak tunagrahita sering memusatkan perhatian pada benda yang salah, serta sulit mengaloksikan perhatian mereka dengan tepat (Mangungsong, 2009). Hal ini dialami juga oleh Harun. Dalam Novel, Harun sering memandang ke arah lain ketika bu Mus sedang menjelaskan atau ketika Harun melihat ke arah lain saat mendukung Ikal, Lintang dan Mahar ketika lomba cerdas cermat.
Salah satu penanganan Harun yang ditemukan dalam Laskar Pelangi adalah modifikasi intruksional berupa instruksi dalam setting (situasi) kehidupan nyata dengan material sebenarnya (Mangungsong, 2009). Salah satu contohnya adalah ketika Ibu Mus mengajak Laskar Pelangi membersihkan kelas bersama, shalat berjamaah, belajar di luar kelas untuk mengenal alam Belitong, seperti tanaman dan hewan yang ada di Belitung, dan belajar mengenai manfaat tanaman sekitar Belitung. Hal tersebut membantu mengajarkan Harun kemampuan hidup sehari-hari di setting aktual.
             Motivasi Harun bersekolah adalah motivasi ekstrinsik, yaitu kondisi sekolah yang menyenangkan. Di SD Muhamadiyah, Harun bisa berinteraksi dan bermain dengan teman-temannya. Hal tersebut menyebabkan Harun merasa senang di sekolah.    
Sayangnya, motivasi Harun untuk berseolah mendapat tantangan dari masyarakat. Hal tersebut digambarkan secara tersirat. Contohnya di film, digambarkan para guru SD PN menertawakan jawaban ulangan Harun. Selain itu, masyarakat sekitar sering bertanya kepada Bu Mus mengapa masih bertahan mengajar Laskar Pelangi, khususnya Harun karena mereka tidak melihat adanya harapan. Kondisi tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Mangungsong (2009) bahwa tantangan terbesar anak tunagrahita adalah ekpektasi dari masyarakat. Masyarakat secara keseluruhan menaruh harapan yang begitu rendah pada anak-anak tunagrahita sehingga menghambat kemajuan mereka. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa kegagalan anak tunagrahita dalam menyelesaikan pekerjaan bukan karena ketidakmampuan mereka menghasilkan atau menyelesaikan tugas, namun karena alasan-alasan sosial (Mangungsong, 2009).
           
SIMPULAN
Film Laskar Pelangi menekankan pendidikan adalah hak setiap anak, termasuk Harun yang merupakan tunagrahita. Harun termasuk beruntung karena mendapat penanganan yang tepat, yaitu pendidikan inklusi oleh Bu Mus. Selain itu, penerimaan dari teman-temannya membantu mengembangan keterampilan sosialnya. Tantangan terbesar yang dihadapi harun adalah ekspektasi masyarakat. Alangkah baiknya jika kita sebagai masyarakat dapat mencontoh bu Mus dan Laskar Pelangi.




Daftar Pustaka

Hallahan, D.P. & Kauffman, J. M. (2006). Exceptional learners: An introduction to special education. (10th ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon.
Hartono, T.D.  (2008, 10 Desember). Harun penyelamat laskar pelangi. Liputan 6.  Retrieved from http://berita.liputan6.com/read/169576/harun-penyelamat-laskar-pelangi. Diakses pada 25 Oktober 2011 pada 10:44 WIB
Hirata, A. (2006). Laskar pelangi. Yogyakarta: Bentang
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Depok: LPSP3 UI.
Parmenter, T. R, Einfeld, S. L., Tonge, B. J., & Dempster, J. A. (1998). Behavioural and emotional problems in the classroom of children and adolescents with intellectual disability. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 23(1),71-77.
Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology (5th ed.). New York : The McGraw Hill Companies, Inc
Riza, R. (Director). Lesmana, M. (Producer). Aristo, S., Riza, R., Lesmana, M. (Writers). (2008). Laskar pelangi. (DVD). Indonesia: Miles Film & Mizan Production.


Post Signature

Post Signature