Top Social

What eat means to you?

|

Well, for me is a kind of obligation (a must) in order to be survive (live) in this world. Because I think eat is obligation, I think it is something you have to do no matter what and I should am quite confused when someone I do not hate eating but I did not love it either. It is neutral for me

Simpati Terbalik?

|



Beberapa waktu lalu gue baru saja membaca artikel yang di-share temen gue di facebook. Artikel tersebut mengkritisi tindakan kita yang suka menawar pada pedagang kecil tetapi memberi banyak pada pengemis atau tidak membeli dagangan pedagang kecil tapi malah memberi kepada pengemis. Penulis artikel tersebut mengajak pembacanya untuk beramal (bersedekah) dengan cara tidak menawar pada pedagang kecil untuk menghargai usaha mereka yang memilih berjualan dibanding mengemis. Penulis artikel menganggap bahwa selama ini simpati kita terbalik.

Selesai membaca, yang terlontar dipikiran gue adalah “Ide yang bagus, kenapa selama ini gue ngga kepikiran ya?” Gue pun mencoba untuk tidak menawar tapi ternyata ngga semudah yang dibayangkan, terlebih lagi kalau gue tahu penjual yang jual dengan harga lebih murah. Kenapa ya?

Menurut Margaret Clark, Judson Mills, dan Alan Fiske (dalam Ariely, 2008) manusia hidup dalam dua dunia yaitu dunia yang diatur dengan norma sosial dan norma pasar. Norma sosial melibatkan permintaan ramah antara satu orang dengan orang yang lain. Norma sosial ada karena kebutuhan manusia hidup dalam komunitas. Seseorang tidak mengharapkan balasan yang cepat ketika sedang melakukannya, contoh kita menolong tetangga kita yang baru pindah dengan membantu membawa masuk beberapa kardus ke dalam rumah mereka, dan saat melakukannya kita tidak mengharapkan tetangga kita untuk langsung melakukan hal yang sama saat itu juga. Norma sosial menimbulkan rasa nyaman bagi yang menolong dan ditolong. Dunia yang kedua adalah dunia dimana yang berlaku adalah norma pasar. tidak ada kehangatan dalam dunia ini. Dunia ini adalah tentang pertukaran gaji, uang, bunga, keuntungan dan kerugian. Dalam dunia ini, kita mendapat sesuai dengan apa yang kita bayar.

Berdasarkan teori di atas, sebenarnya bukan simpati kita yang terbalik, tetapi itu adalah hal yang wajar. Saat sedang berhadapan dengan pedagang (walaupun pedagang kecil), kita memasuki dunia kedua dan bertindak sesuai norma pasar. Kita menginginkan pengeluaran sekecil-kecilnya dan mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Sementara saat berhadapan dengan pengemis, kita memasuki dunia pertama yang diatur dengan norma sosial, kita rela memberikan uang kita karena dalam dunia ini kita tidak sedang memikirkan untung dan rugi.  

Ada contoh menarik yang disediakan dalam buku Predictably Irrational oleh Dan Ariely. Seorang pekerja LSM meminta tolong pada seorang pengacara untuk mau dibayar murah dalam membela orang-orang yang tidak mampu dalam menjalani proses hukum dan ternyata pengacara menolak. Pekerja LSM pun kembali lagi tetapi kali ini dia meminta pengacara tersebut melakukannya secara gratis dan pengacara tersebut mau melakukannya. Apa yang terjadi disini? Apakah kalian berpikir pengacara ini bodoh karena lebih memilih tidak dibayar?

Saat pekerja LSM datang meminta dibayar dengan murah, sang pengacara merasa berada dalam dunia yang diatur dengan norma pasar dan tentu saja dia menolak karena tidak mau dengan harga murah. Akan tetapi ketika pekerja LSM memintanya melakukan secara gratis, pengacara ini merasa dia melakukan pekerjaanya dalam konteks norma sosial, untuk menolong orang yang tidak mampu.

Gue rasa ketika bertemu pedagang kecil, dari awal sebaiknya memang meniatkan untuk bersedekah/memberi padanya karena jika tidak diniatkan dari awal, otak kita secara otomatis akan berpikir kita berada dalam konteks yang diatur dalam norma pasar sehingga mengharapkan untuk mendapatkan barang dengan harga semurah-murahnya. Mungkin kita bisa menganggap menolong tanpa diketahui atau barang yang kita dapat darinya adalah hadiah ucapan terima kasih dari orang yang kita tolong. Selamat mencoba (»''«)

Daftar pustaka

Ariely, D. (2008). Predictably irrational. New York: HarperCollins Publisher.

Unfollow me?

|
biasanya setiap kali ada orang-orang yang gue anggap temen nge-unfollow gue di twitter, rasanya sedih banget (ʃ˘̩̩̩_˘̩̩̩ƪ) soalnya bagi gue, orang yang gue follow tuh orang-orang yang gue anggap temen.. dan ketika mereka nge-unfollow gue, gue menganggap mereka menganggap gue bukan temen mereka.. tapi ternyata ngga semua orang mikir hal yang sama seperti gue. Salah satu temen gue bilang, "Gue cuma follow temen deket gue, ngapain gue follow orang-orang yang jarang ngobrol sama gue?" atau ada juga yang ternyata ngga sengaja ngeklik unfollow..  "Twit-twit loe menuhin timeline gue, Na dan itu nyebelin" Ada juga yang nge-block gue. (┌''┐) 

Gue tahu siapa yang nge-unfollow karena gue ikut apps yang ngasih tahu siapa aja yang nge-unfollow gue dan setiap kali tahu bikin gue sedih akhirnya gue memutuskan untuk ngga peduli (ngga mencari siapa yang unfollow gue ketika jumlah followers gue berkurang). Gue harus belajar menerima fakta bahwa sangat tidak mungkin membuat semua orang menyukai gue. Di dunia ini selalu ada orang-orang yang bakal suka, biasa aja, dan benci sama gue. It's part of life :D
Dan ketika temen-temen gue unfollow gue, tetep ada orang-orang (yang bahkan gue ngga kenal) yang follow twitter gue. Kalau kata @maswaditya , "setiap karya ada peminatnya" dan begitu juga twit-twit gue :D Hal yang paling penting adalah ketika gue menemukan orang-orang yang gue anggap sahabat masih follow gue ( ^o)( ^ 0 ^ )(o^ )/ 


Gue rasa gue beruntung karena pernah ngalamin rasanya di-unfollow dan diblock (entah sengaja atau ngga), gue jadi tahu sudut pandang orang lain dan juga mengetahui orang-orang yang masih mau bertahan di sisi gue. I mean bagaimanapun juga twit-twit gue menggambar diri gue dan hal-hal yang gue sukai _φ( ̄v ̄ ) Jadi gue tahu kalau yang masih bertahan itu adalah orang-orang yang memang mau menerima gue apa adanya dan pantas gue jadiin temen. 

Unfollow me? well, i will not cry because it does not matter anymore ï¾Ÿ(・-・)
Thank you for being honest wih me :) I believe everyone deserve to be around people who appreciate him/her. ( ´ãƒ¼´)æ—¦

Be yourself. ALWAYS be yourself. 
The right people will love you for it..
& who cares what the wrong ones think?! 

Tabu

|
There is one question that I never dare to ask pertanyaan yang mungkin bagi sebagian besar orang akan dijawab dengan enteng atau biasa saja, tapi tidak bagi gue. Selama lima tahun terakhir ini, gue ngga menanyakan pertanyaan ini ke orang lain. .the question is simple “what is your dad’s job?”
gue sebenernya bisa aja jawab pertanyaan itu  tapi what made me afraid to ask that question is that there is big chance that ,person whom I asked, will be going to ask the same question to me and I hate the reaction after they heard my answer. The truth is my dad is unemployed and people gave me a pity look and I hate that. I don’t like people pity on me because it made feel they see me as a weak person and I don’t think I’m weak.

Gue masih inget waktu smp, gue bilang ke beberapa guru  (lelaki) SMP gue kalau ayah gue ngga bertanggung jawab dan mereka marah dan menasehati gue kalau gue ngga boleh ngomong begitu dan beberapa ceramah lainnya tentang usaha seorang ayah membiayai keluarganya. Dulu waktu SMP, gue shock banget denger reaksi guru (lelaki) SMP gue karena gue cerita hal yang sama ke beberapa guru (perempuan) SMP gue dan mereka menyemangati gue. sekarang gue melihat kejadian itu berbeda, gue rasa saat gue bilang ayah gue ngga bertanggung jawab, guru (lelaki) SMP gue mengira kalau gue membicarakan mereka padahal gue ngga menganggap mereka begitu.

ada saat dimana gue berharap umi ngga menikah dengan abi, dan mungkin umi bakal lebih bahagia
tapi umi bilang umi tidak menyesali keputusan menikah dengan abi dan jika tidak menikah dengan abi, umi tidak mungkin memiliki kami bertiga (aku, huang dan memey)
Kalau dipikir-pikir mungkin saatnya bagi gue untuk tidak berpura-pura kuat, tidak mempedulikan pendapat orang tentang abi..
dan belum tentu juga kalau gue cerita tentang status abi, temen2 gue bakal mengasihani gue..
ada berbagai macam reaksi yang mungkin muncul.. jadi mengapa gue mesti cemas..
I mean.. My dad might not have been the greatest, but he didn't do awful things..

I ♥ book

|




I love reading book `ʃƪ) it made feel happy and excited. 彡(ノ゚゚)ノBook is my best friend for a long time. When I was kid, I like to be alone in my room read books. But when I got to college, I stop reading books that I love. I only read text book for academic’s purpose because somehow I felt like I don’t have time to read books o(´^)o then I realized it is not because I don’t have time but because whenever I got spare time I did not make reading book as a priority and I did not write schedule to read book. And now, whenever I got free time I read a book and I glad I can make it. I  love the joy feeling when I succeed to finish reading book \(´`\)(/´`)/ 

One of my dreams is finding a husband that loves reading book so we both can spend a weekend reading book together in the our house library that has backyard/garden view. (´`)
After finished reading, we both discussed the book that we read :D  I think it is romantic  but when I told my close friends about may idea, they said how boring it is.. ヽ(゜ロ゜;)ノhehe
Relax, I am not offended with their reaction because I realized everyone had different kind of things that can make them feel happy. For me, it is book  :D but for my friend, they like karaoke or movies. Another dream is that I’d like to have my first date with my husband in bookstore/bookfair/library.. anywhere as long as it got book in it .. hehe
(>ˆˆ)> < (ˆˆ<) 

Males Liburan

|

“Na, liburan jangan di rumah aja.. jalan-jalan dong”
 “have fun liburannya :D jgn belajar terus :P”
“jeje betah amat di rumah seharian! Jangan depan laptop mulu! keluar rumah gih!”

Dua komentar di atas dilontarkan oleh teman-teman dekat gue dan komentar yang terakhir dilontarkan oleh umi. Komentar-komentar tersebut sering terdengar selama liburan berlangsung. Hehehe..
Kalian boleh menyimpulkan bahwa gue adalah anak rumahan (betah di rumah.)

Beberapa waktu lalu ketika masih UAS, umi sms gue nanya apakah gue mau ikut liburan ke Jogja. Saat menerima sms itu, gue lagi bersama Anggi dan Fida. Gue bertanya ke mereka berdua
 H: “menurut loe gue mending ikut apa ngga ke jogja?”
A:  “Ikutlah na! kalau gue jadi loe, gue langsung bilang iya.”
H: “tapi gue males”
F: “loe gimana sih masa liburan aja males?!”
Dan gue pun mengirim sms yang bilang iya.. Reaksi umi bilang alhamdulillah seolah tak percaya.. saking seringnya gue menolak tawaran untuk jalan-jalan..
(btw, liburan ke Jogjanya batal karena gue males berangkat pas temen gue Fida tahu hal ini, dia bilang gue aneh.. hehe)

Mari kita kembali ke usia dimana gue berumur 5 tahun dimana bisnis abi gue baru bangkrut  di Cirebon sehingga kami sekeluarga pindah untuk tinggal menumpang ke rumah Mbah (kakek , ayah dari umi).  Dulu waktu gue kecil, tiap kali diajak pergi liburan sama uwa-uwa gue (terutama pas lagi libur lebaran), umi gue selalu bilang ke gue dan adik gue Huang untuk menolak tawaran uwa-uwa gue karena umi ngga punya uang dan ngga mau merepotkan mereka.  Uwa-uwa gue tentu saja mengatakan bahwa umi ngga usah khawatir, dan mereka akan membayari biaya gue dan adik-adik gue. Tapi umi tidak ingin merepotkan siapapun sehingga dengan gue dan adik-adik gue bilang “ngga mau” seolah kami memang anak-anak yang tipe ngga suka jalan-jalan. Dan akhirnya uwa-uwa gue pun pergi liburan tanpa kami. Kalau pun umi punya uang, biasanya adik gue memey atau de Huang yang didahulukan untk ikut uwa-uwa gue liburan.  Setelah itu,  gue biasanya memandang perginya uwa-uwa gue tanpa gue ikut dan gue inget gue berjanji ke diri gue sendiri kalau gue gede nanti gue berharap punya uang banyak sehingga gue bisa ajak jalan-jalan semua keponakan gue. Awalnya sedih memang. tapi untungnya manusia diberi kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya. Lama-lama gue biasa aja. Bahkan gue rasa hobi gue membaca buku adalah salah satu bentuk adaptasi yang gue lakukan. Gue sering menghabiskan waktu senggang gue dengan membaca, which means itu hobi yang murah karena yang gue butuhkan hanya sebuah buku. Gue bisa pinjem buku uwa gue atau temen-temen gue. Gue bisa baca buku apa aja.  Membaca buku menyenangkan karena gue bisa tahu berbagai hal yang ada di tempat lain dari sebuah buku tanpa perlu pergi ke luar rumah.

Gue inget ketika kondisi keuangan umi membaik, umi mengajak gue dan adik-adik gue liburan tapi kami semua malah menolak dan memilih tetap tinggal di rumah. Haha :D
Gue rasa baik gue maupun adik-adik gue belajar untuk menikmati liburan di rumah dengan kegiatan yang bisa dilakukan di rumah, entah apapun itu (soalnya adik-adik gue ngga hobi baca buku seperti gue). :D

Tanggal 9 Januari kemarin pas ikut FPT (Fit and proper test) BPH SALAM UI, gue bilang bahwa salah satu kelemahan gue adalah gue ngga suka jalan-jalan, terus Kak Arief, ketua SALAM UI 16 nanya ke gue “Kenapa Hana ngga suka jalan-jalan?”
“ng.. ngga suka aja.. males mungkin” jawab gue
“Kalau misalnya suka jalan-jalan itu perintah Allah gimana?”,
gue kontan jawab “Tentu saja. Jika itu perintah Allah, gue bakal melakukannya.”  
Kak arief bilang kalau ketidaksukaan gue terhadap jalan-jalan masih bisa diubah, gue masih bisa belajar untuk suka jalan-jalan. Kalian tahu Gue ngga pernah pakai sudut pandang seperti itu. :D
 Gue pun berterima kasih sama kak Arief. :D

Saat ini, gue masih menggunakan waktu liburan untuk membaca buku di rumah sih. Hehe.. Gue menargetkan untuk membaca 100 buku tahun ini dan gue baru selesai baca 11 buku :D 


Aku dan SALAM UI i5

|


Jujur aja, awalnya gue berencana ngga bakal ikutan organisasi apapun selama di semester 4 karena ingin memperbaiki IP yang terlanjur hancur di semester 2 dan 3.
 Sempet terbesit niat ikut salam tapi ternyata calaon ketua salam yg gue jagoin (Kak agung fkm) malah ngga kepilih.. yg kepilih malah kak gun. Maaf ya kak ardhy.. padahal kakak dari psiko tapi hana malah ngga dukung kakak…

Gue pun berubah pikiran pas ngeliat sebagian besar temen deket yang berhenti ambil kepanitian tapi berencana fokus di satu organisasi (BEM PSIKO atau BEM UI), gue pun sempet berpikir untuk mengikuti jejak mereka..
Pas lagi bingung mikir mau ikut BEM atau ngga, pendaftarannya keburu ditutup.. yang masih terbuka tuh SALAM UI.. akhirnya gue pun daftar di SALAM UI.. 
alhamdulillahnya keterima :D


pas awal masuk sempet kaget karena sebagian besar mahasiswa yg masuk SALAM ternyata menunjukkan muka-muka bersemangat  seolah sesuai jargon salam yaitu Get the spirit :D
 hana yang awalnya setengah hati masuk SALAM jadi ikut bersemangat juga.. :D
Menghindari kesalahan di masa lalu, Hana pun berusaha bersungguh-sungguh di SALAM dengan cara ikut kegiatan SALAM (selama tidak bentrok dengan kegiatan akademis).. intinya berusaha mengutamakan kegiatan SALAM UI..


Alhamdulillah lama-lama Hana jadi jatuh cinta sama SALAM UI, terlebih lagi Hana dapet temen-temen yang baik banget sama Hana :’)

Kesalahan Hana tersebesar di SALAM i5 itu sering menghindar dari tanggung jawab di psdm..
Hana sering banget ngga mau megang amanah atau tanggung jawab besar dan akhirnya jadi ngerepotin Kabiro PSDM Teh Enung sama, deputinya Kak opang , dan temen-temen psdm lainnya :’)
Maaf ya Hana bandel… Kalian baik banget mau bersabar sama Hana :’)
Hana bersyukur banget memilih tetap di SALAM dan batal jadi mahasiswa SO (Study Oriented) :D






Private Notes sehabis nonton Habibie Ainun

|
Kemarin tanggal 11 Januari hana dan uwa-uwa gue (kakak dari umi) pergi nonton film Habibie Ainun. Gue sempet takut bakalan ngga seru pergi sama uwa-uwa gue tapi ternyata ngga :D uwa-uwa gue melontarkan lelucaon selama perjalan pergi dan pulang serta tidak mengganggu gue menikmati film :D yang lebih penting lagi gue ngga keluar uang sepeser pun karena dibayarin.. hehe \(^0^)/

Gue sering nangis sepanjang nonton film ini.. (ʃ˘̩̩̩_˘̩̩̩ƪ)   kagum sama Pak Habibie yang percaya diri. Waktu mau main ke rumah Ainun, Pak Habibie dateng pakai becak sementara para pesaingnya yang berusaha mendapatkan hati Ainun datang pakai mobil. Dia tidak mempermasalahkan orang lain berkata apapun mengenai usaha atau caranya mendapatkan Ainun. Pak Habibie hanya yakin dia bisa dan bertindak berdasarkan keyakinannya itu. Dia tidak mempermasalahkan hal-hal lain. Kepercayaan diri tersebut juga ditampilkan Pak Habibie ketika diminta mengerjakan proyek kerangka badan kereta api di Jerman, dia tidak peduli omongan rekan-rekan kerja yang awalnya meragukan dirinya, seperti "Kamu yakin dengan insinyur itu?  Kereta di negara dia saja impor dari negara kita."
Dan Pak Habibie berhasil membuktikan bahwa dia memang mampu :D

Buat gue sendiri yang ketika melakukan sesuatu sering dihantui pertanyaan "Bagaimana jika gagal? Gue bakal malu banget .. dan lain sebagainya.." sehingga sering kali akhirnya gue berhenti  atau memilih menyerah dan tidak berusaha untuk mencapai yang gue inginkan. Menonton film ini membuat gue merasa tersindir dan tentu saja membuat gue ingin berubah.


Hal yang paling jleb (menusuk hati gue) dalam film ini adalah perkataan Pak Habibie ketika pertanggung jawaban beliau sebagai presiden RI ditolak.  "Bangsa ini mampu berdiri sendiri tapi mereka menolak untuk percaya." Pak Habibie bercita-cita pesawat-pesawat buatan anak negeri ini bisa digunakan untuk memudahkan transportasi Indonesia yang terdiri dari bebagai pulau-pulau.
Adegan lelucon pesawat terbang dalam  film ini juga membuat gue menyadari bahwa gue termasuk "orang-orang yang tidak percaya bangsa ini mampu berdiri sendiri" dan secara tidak sadar gue telah merendahkan kemampuan diri gue sendiri. Gue juga bangsa Indonesia soalnya.

Lelucon pesawat yang diceritakan tuh kira-kira seperti ini "Pas lagi perang , pesawat AS muncul dan orang-orang berteriak "Tembak! tembak!" tapi karena saking cepetnya pesawat itu tetep terbang. Wajar Pesawat AS! Nah kemudian pesawat Indonesia muncul, orang-orang berteriak "tembak!tembak!" tapi kemudian mereka membatalkannya "ngga usah ditembak! pesawat buatan Indonesia, nanti juga jatuh sendiri."


Kalian tahu? dulu waktu denger lelucon tersebut gue termasuk yang tertawa. Gue jadi merasa bersalah dan menyadari seharusnya kalau gue tidak bisa membawa bangsa ini menjadi lebih baik, at least gue tidak menertawakan ataupun mengkritik orang-orang yang sedang berusaha membuat Indonesia menjadi lebih baik.

Sebagian orang setelah menonton Habibie Ainun tersentuh dengan romantismenya dan mengutip kata-kata romantis yang dikatakan Pak Habibie ke Ainun maupun Ainun ke Habibie. Itu juga menarik :) tapi gue lebih tersentuh ketika melihat perjuangan Pak Habibie meraih mimpinya dan bagaimana Ainun menguatkan Pak Habibie di masa-masa sulit.
Menonton film ini seolah mengingatkan gue bahwa orang-orang yang bermimpi besarlah yang berhasil mengubah dunia :D






aku..........masih Hana

|

hana
aku
saya
I
jeje
Na
gue
kak
teh
abdi

"labil! inkonsisten!" 
"kekanak-kanakan!" 

bolehkah aku memiliki semuanya?
tidak?
yakin?

bolehkah hanya kukurangi satu?
tidak?
harus satu?
banget?

Ah!
apapun itu.. masih Hana juga kan?

tetep tidak?
baik!
terserah!
memalingkan muka

tap.. tap.. tap..
derap langkah mendekat..
“eh, kalian tetap menerimaku kan?”

mencoba puitis tapi gagal sepertinya. hahaha… kalau kalian sadari tulisan-tulisan gue di blog ini menggunakan panggilan yang amat sangat beragam untuk penyebutan diri Hana sendiri mulai dari Hana, gue, saya, aku, dan lain-lain. Kalian juga pasti bingung dan ngga enak bacanya ya? Maaf ya.. Semua itu karena gue menulis dalam kondisi yang berbeda.. Ada saat Hana memanggil diri hana sendiri “Hana” dan ketika menulis tentu saja Hana menggunakan kata “Hana.” kemudian misalnya gue baru ja selesai membaca sebuah buku yang tokoh utamanya menggunakan kata “saya” maka tulisan Hana pun menggunakan kata saya. Kalau gue nulis setelah ngobrol sama temen sambil ngomong gue-loe maka tulisan gue pun berubah menggunakan gue. Hahaha..  Jadi satu postingan yang penyebutan diri hana sendiri ngga konsisten tuh pasti ditulis dalam minimal 2 kondisi berbeda (tidak dalam satu waktu). Kalian mungkin berkesimpulan gue mudah dipengaruhi ya? I don’t know tapi sepertinya iya… Penjelasan lainnya gue males ngedit bagian penyebutan diri sendiri. Di post-post selanjutnya gue akan mencoba menulis menggunakan kata “gue” untuk postingan yang informal :D Semoga gue bisa konsisten untuk penyebutan diri sendiri.. hehe ^^v

Identitas Tionghoa Muslim Indonesia

|



“When Chinese remain abroad for several generation without returning to their native land, they frequently cut themselves off from the instruction of the sages; in language, food and dress, the imitate the natives and studying foreign books (? Quran), they do not scruple to become Javanese, when they called themselves Islam (Sit-Lam). Then they refuse to eat pork and adopt altogether native customs.” 
—Ong Tae Hae (pelancong Tionghoa abad ke-18)









Fungsi buku ini sesuai dengan judulnya  karena telah membantu gue untuk menemukan jati diri, atau lebih tepatnya mengetahui asal-usul leluhur. Hal lain yang gue suka dari buku ini adalah buku ini menggunakan sudut pandang psikologi dalam menceritakan proses pembentukan identitas tionghoa. Berasa lagi belajar mata kuliah Self in Social Life (Diri dalam kehidupan Sosial) atau justru Cross Cultural Psychology (psikologi lintas budaya) :D

Dari buku ini, gue jadi tahu bahwa secara genealogis ada 3 kelompok generasi tionghoa muslim. Generasi pertama tuh The Lost Chinese Muslim. Generasi ini datang ke tanah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 . Mereka datang tanpa membawa istri-istri mereka sehingga melakukan perkawian campuran dengan perempuan pribumi. Proses ini berlangsung terus menerus hingga melahirkan generasi yang hanya memiliki sedikit saja ciri-ciri ketionghoaan, bahkan secara berangsur-angsur ciri-ciri tersebut hilang. Kelompok kedua adalah orang-orang Tiaonghoa Muslim yang lahir dari kedua orang tua yang sama-sama Tionghoa Muslim atau lahir dari perkawinan campuran antara Tionghoa Muslim dan pribumi. Sementara kelompok generasi ketiga adalah para imigran Tionghoa beserta keturunannya yang datang belakangan dan karena faktor tertentu kemudian masuk Islam (new convert).

Kalau pakai penggolangan tersebut berarti gue masuk kelompok generasi kedua karena abi gue Tionghoa Muslim sementara umi gue itu Sunda :D (bisa baca disini)

Di buku ini ada studi kasus berbagai Tionghoa Muslim dan ditemukan bahwa Tionghoa Muslim sendiri beragam tidak homogen, terutama dalam aspek ekonomi. Ada yang kalangan menengah atas, ada juga yang kalangan menengah bawah. Soalnya sering ada stereotip kalau orang Tionghoa itu kaya secara financial. 

Hal yang gue sukai dari buku ini adalah buku ini menjelaskan mengapa banyak keluarga Tionghoa yang marah besar ketika ada anggota keluarganya masuk Islam. Ternyata semua itu bermula oleh politik devide et empera Belanda. Saat penjajahan Belanda, Belanda membagi penduduk dalam tiga golongan. Golongan atas adalah orang-orang Eropa. Golongan kedua adalah pendatang dari Timur jauh, entah India, Arab, dan termasuk pendatang Tionghoa. Golongan ketiga dan dianggap paling rendah adalah masyarakat pribumi. Penjajah Belanda mengusahakan tidak terjadinya persatuan antara golongan kedua dan ketiga. Salah satu caranya adalah jika ada golongan kedua, khususnya Tionghoa yang masuk islam maka status jatuh menjadi golongan ketiga. Oleh karena itu, keluarga Tionghoa yang mendapati anggota keluarganya masuk Islam akan marah besar dan mengusir anggota keluarga tersebut karena status mereka akan jatuh. Salah satu cara masyarakat Tionghoa akan statusnya naik adalah mengadopsi cara berpakaian dan agama orang Eropa. Oleh karena itu, saat ini banyak ditemukan masyarakat Tionghoa yang memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik.

Hal yang kadang bikin gue kesel adalah sebagian orang Indonesia yang non Tionghoa kadang mengganggap bahwa Tionghoa tidak beragama Islam, hanya beragama Budha/Konghucu/Protestan/Katolik. Gue pernah ngalamin dimana gue disangka non Islam. Temen gue, Joe juga pernah mengalami hal yang sama. Dia bilang dia pernah ditanya “Loe Protestan atau Katolik?”. Hal yang tidak disadari sang penanya dari pertanyaan itu adalah ada makna tersirat dia punya asumsi agama orang Tionghoa hanya terbatas antara Protestan/Katolik, padahal kan ngga begitu. Gue berharap sih stereotype kayak gitu berkurang.  Walaupun sebenernya gue bisa memahami kenapa stereotype itu bisa terjadi soalnya Tionghoa Muslim itu minoritas dalam minoritas.

saya tidak pernah menolak dan menyesal lahir sebagai orang Cina. Saya mengakuinya secara terbuka karena memang secara fisik dapat diketahui orang banyak. Saya juga tidak menutup-nutupi identitasku sebagai muslim. Kalau ada yang Tanya, ya saya jawab apa adanya kalau saya muslim. Memangnya orang Cina tidak boleh masuk Islam? Boleh kan?”
―Lia



Salah satu cara politik adu domba yang dilakukan penjajah Belanda adalah menyediakan area khusus untuk tempat tinggal masyarakat Tionghoa sehingga interaksi dengan pribumi dapat terkontrol. Kalian pasti menyadari bahwa hampir di tiap kota di Indonesia ada pecinan (tempat tinggal khusus orang Tiongha).  Dan saat ini masaih ada sehingga mungkin itu salah satu penyebab kenapa ada stereotype orang-orang Tionghoa itu ekslusif, hanya bergaul dengan orang Tionghoa saja.

Hal yang menurut gue menyedihkan adalah walaupun Belanda udah pergi meninggalkan Indonesia, praktik membedakan antara Tionghoa dan pribumi masih ada sampai sekarang, bahkan berkembang menjadi stereotipe dan membuat proses asimilasi antara masyarakat Tionghoa dan pribumi sulit. Walaupun masyarakat Tionghoa sudah menuruti pemerintah dengan mengganti nama dengan nama Indonesia (baca disini) tapi masih saja ada anggapan Tionghoa itu bangsa pendatang.  Padahal Tionghoa yang ada di Indonesia sekarang sudah menganggap diri mereka bagian dari bangsa dan Negara Indonesia dan bahkan sudah tidak bisa bahasa Mandarin. (gue termasuk keturunan tionghoa yang ngga bisa bahasa mandarin.. heheh)

Untungnya sekarang (setelah masa Orde Baru), roh budaya tionghoa di Indonesia mulai hidup kembali. Orang-orang Tionghoa di Indonesia  dapat kembali mengekspresikan budaya, adat, dan tradisi dengan bebas. Kondisi tersebut dapat terlihat mulai maraknya sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa mandarin, diakuinya tahun baru Cina sebagai hari libur Nasional, media-media yang berbahasa Mandarin mulai bermunculan. :D

Buku ini juga menceritakan suka duka (keuntungan dan tantangan) yang dihadapi ketika menjadi Tionghoa Muslim  =) Buat gue seru karena gue menemukan bahwa gue ngga sendirian. Walaupun gue cuma separuh Tionghoa tapi karena terlahir dengan fisik Tionghoa dan diperlakukan seperti orang Tionghoa (Misalnya disangka pinter dagang, disangka kaya, pelit, dan berbagai stereotype lainnya), gue juga dapat memahami perjuangan menjadi Tionghoa Muslim.

Semoga aja ke depannya prasangka negatif antara Tionghoa dan pribumi (baik dari pribumi ke tionghoa atau prasangka negatif orang Tionghoa ke pribumi ) dapat diminimalisasi :D  sehingga bhineka Tunggal ika bener-bener terwujud :D





Daftar Pustaka

Afif, A. (2012). Identitas tionghoa muslim indonesia pergulatan mencari jati diri. Depok: Penerbit Kepik.

gambar diunduh dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgutCjwJArnIkcIIcPFb1Ners5bBciPrGtuOTDI4W1k96YlwWnh6etlumO2uqvDVLTpHhGu2pnDJv7WRvmcOshYHcYwBuuTR-QtBMRoO10eBbpLBWgGz4__3ftxpoauAZoTvx2qxwE613A/s1600/10tionghoa.jpg

Post Signature

Post Signature