Top Social

Tentang #DokterIndonesiaProRakyat

|


“ Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan berusaha sesuai martabat pekerjaan saya.  Dalam menunaikan pekerjaan terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.” Sumpah Dokter
 
Pada hari Senin tanggal 24 Oktober 2016, bertepatan dengan hari dokter nasional dan hut IDI (Ikatan Dokter Indonesia) ke 66, ribuan dokter yang tergabung dalam IDI melakukan demonstrasi (aksi damai) di berbagai kota di Indonesia. IDI meminta segenap komponen masyarakat mendorong pemerintah untuk mereformasi sistem kesehatan dan reformasi sistem pendidikan dokter. 



IDI melihat ada harapan tinggi dari masyarakat kepada profesi dokter, dan ketika harapan tersebut tidak sesuai kondisi di lapangan, sering kali dokter menjadi sasaran kemarahan/pihak yang disalahkan. Padahal masalah kesehatan dan pelayanan kedokteran itu kompleks, dokter bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam keberhasilan ataupun masalah pelayanan kesehatan. Keberhasilan profesi dokter adalah tanggung jawab bersama.

Ada 3 krisis yang menurut IDI perlu perhatian serius:

1.       Krisis Pelayanan Kedokteran di Era Jaminan Kesehatan
IDI melihat beberapa faktor dapat menyebabkan ketidakmasimalan pelayanan kesehatan, seperti alokasi pembiayaan obat yang terlalu kecil sehingga menyulitkan dokter memberikan obat terbaik kepada rakyat miskin, ada kendala dalam hal pengawasan dan pelaksanaan antara otonomi daerah dengan kebijakan JKN, belum sinkronnya aturan standar BPJS dengan standar profesi kedokteran, dan masih minimnya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) menyulitkan dokter menegakkan diagnosis.

2.       Krisis Pendidikan Dokter
IDI melihat pendidikan dokter semakin mahal dan tidak pro rakyat. Institusi pendidikan kedokteran saat ini bergeser menjadi profir oriented. IDI berpendapat jika ingin meningkatkan kualitas dokter di pelayanan primer, pemerintah tidak perlu membuka program studi baru. Program studi DLP menambah panjang masa studi pendidikan seorang dokter. Jika program studi ini diterapkan, diperkirakan butuh tambahan 2 tahun untuk seseorang untuk menjadi dokter. IDI mengkhawatirkan semakin lamanya durasi pendidikan dokter membuat pendidikan dokter semakin mahal dan akan berdampak kepada biaya berobat. Selain itu, program ini tumpang tindih dengan pendidikan spesialis sehingga dinilai tidak tepat sasaran dan akan menjadi pemborosan. Alokasi anggaran bisa digunakan untuk pengadaan fasilitas layanan kesehatan di daerah.  IDI berharap pendidikan dokter mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan.

3.       Krisis Penyebaran dokter yang tidak merata dan kurangnya dokter spesialis
Minimnya infrastuktur dan dukungan sarana prasarana untuk mencapai standar pelayananan kesehatan menjadi salah satu penyebab disparitas penyebaran dokter di Indonesia. IDI juga melihat jumlah dokter spesialis di Indonesia selalu kurang karena mahalnya biaya pendidikan dan terbatasnya kursi pendidikan spesialis di Indonesia yang sifatnya University based. IDI melihat sitem hospital based dapat menjadi alternatif solusi bagi Indonesia untuk memenhuhi kebutuhan dokter spesialis. Hal ini dikarenakan dalam sistem hospital based, dokter umum yang ingin memperdalam spesialisasi tidak perlu mengeluarkan uang sedikitpun, mereka justru dibayar karena kerjanya selama proses pendidikan.

Ketika mendengar dan membaca mengenai aksi damai #DokterIndonesiaprorakyat yang dilakukan IDI di sosial media dan media cetak, membuatku sadar bahwa masalah kesehatan di Indonesia itu kompleks dan  dokter  mengalami  kesulitan dalam menjalankan profesinya. Aksi ini mengingatkanku bahwa dokter juga manusia, mereka memiliki keterbatasan dan tidak sempurna. Mereka menginginkan yang terbaik, namun terkadang kebijakan dan fasilitas tidak mendukung. Ketika mendengar pelayanan kualitas kesehatan yang buruk, seringkali opini di sosial media atau berita membuat seolah-olah itu salah dokter sepenuhnya, padahal sebenarnya bukan seperti itu. Kita seringkali menyalahkan dokter tanpa mengetahui masalah yang terjadi. Semoga kita bisa belajar lebih menghargai dokter.

Hal yang paling membuatku jleb saat mendengar aksi damai IDI adalah saat IDI memprotes mahalnya biaya pendidikan dokter. IDI menginginkan pendidikan dokter dapat diakses semua kalangan. Aku menganggap mahalnya pendidikan dokter sebagai hal biasa dan wajar sehingga tidak mempermasalahkan pendidikan dokter hanya bisa diakses oleh sebagian kalangan yang ekonomi mampu. Aksi Damai IDI mengingatkanku tentang pendidikan seharusnya bisa diakses oleh semua, termasuk pendidikan dokter. Aksi Damai IDI juga menyadarkanku bahwa para dokter ini masih peduli dengan rakyat kecil dan bahwa ketika melihat hal yang tidak sesuai, kita dapat bergerak meminta dan menyuarakan perubahan.




Semoga masalah pelayanan kesehatan dan pendidikan dokter ini menemukan jalan keluar. Semoga maksud dan tujuan baik aksi damai IDI dapat diterima dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat.

Belajar Sabar dari Keluarga Ibrahim AS

|


Assalamualaikum Good people, do you miss me?
Maaf ya Hana hiatus ngeblog tapi tanpa pemberitahuan. Hehehe
Terima kasih banyak telah bersabar menanti postingan terbaru Hana :’)
Kebetulan banget kali ini Hana mau membahas topik “Sabar”

Beberapa waktu lalu Hana sadar betapa sabarnya keluarga Ibrahim AS. Selama ini, Hana mengasosiasikan sifat sabar dengan sifat para Nabi tapi I swallow it without really thinking what it means to be sabr/patience.
Ketika mengingat lagi kisah mereka, membuatku sadar betapa sabarnya mereka.

Misal Siti Hajar.
Waktu Siti Hajar bersama anaknya, Nabi Ismail AS, ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim AS di Padang Pasir yang tandus, pertanyaan yang terlontar dari Siti Hajar adalah “Apakah ini perintah Allah?”
Kalau Hana ditinggalkan oleh suami di padang pasir bersama bayi, kemungkinan besar Hana bakal bertanya “How could you do this to me?  You did not love me anymore?”
Drama banget ya gue...
Membandingkan jawaban diri sendiri dan Siti Hajar membuat Hana jadi sadar betapa sabar dan positif thinkingnya Siti Hajar.

Anaknya Siti Hajar dan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail AS juga keren. Setelah lama tidak bertemu dengan sang Ayah, Nabi Ibrahim AS, dia bisa tetap hormat dan berbakti kepada ayahnya.
Nabi ibrahim menceritakan mengenai mimpinya bahwa dalam mimpi tsb dia menyembelih Ismail.

Kalau gue di posisi Nabi Ismail AS, mungkin gue akan bilang gini “Ayah kemana aja selama ini? Pas datang bilang ingin menyembelih. Kok Ayah tega? Ayah jahat! Ayah ngga sayang sama aku.”
Tapi Nabi Ismail tidak menjawab seperti itu, beliau malah mejawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Masya Allah :”)

Aku tidak yakin apakah aku bisa melontarkan jawaban seperti itu.
Sabar banget ya Siti Hajar dan Nabi Ismail AS. 
Dari mereka, Hana belajar bahwa salah satu kunci bersabar adalah berprasangka baik pada Allah. Percaya bahwa sesulit apapun kelihatannya, ketetapan Allah adalah yang terbaik.


Post Signature

Post Signature