Top Social

Kecenderungan Seseorang dalam Memilih Teman: Similar Attitudes versus Dissimilar Attitudes

|
Kecenderungan Seseorang dalam Memilih Teman:
Similar Attitudes versus Dissimilar Attitudes


Fidia, Risa, dan Muthi adalah mahasiswa baru di suatu universitas negeri di Indonesia. Mereka membicarakan mengenai boleh tidaknya pacaran. Fidia berpendapat bahwa pacaran merupakan hal yang dilarang. Menurutnya, pacaran dapat menjerumuskan seseorang ke dalam zina. Sementara Muthi tidak setuju dengan hal tersebut. Menurutnya, pacaran diperbolehkan selama tidak melampaui batas dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Jika Anda adalah Risa, siapa yang Anda dukung? Mengapa Anda mendukungnya? Lalu siapakah yang Anda lebih sukai? 
Filsuf Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa orang yang saling setuju satu sama lain akan menjadi teman, sementara orang yang berbeda pendapat tidak akan menjadi teman. Jika Anda memiliki pendapat yang sama dengan Fidia, maka Anda  akan mendukung Fidia dan menyukainya. Begitu pula sebaliknya. Anda akan mendukung Muthi jika Anda memiliki pendapat yang sama dengannya dan mulai menyukainya. Menurut saya seseorang cenderung memilih teman yang memiliki similar attitudes dibandingkan teman yang memiliki dissimilar attitudes
Berbagai penelitian telah dilakukan oleh psikolog mengenai similar attitudes dengan dissimilar attitudes. Similar attitudes dapat didefiniskan sebagai kesamaan atau kemiripan sikap mengenai kepercayaan, nilai-nilai, dan minat antara seseorang dengan orang lain. Sementara dissimilar attitudes dapat didefinisikan sebagai perbedaan sikap mengenai kepercayaan, nilai-nilai, dan minat antara seseorang dengan orang lain Hasil-hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa pendapat Aristoteles mengenai orang yang saling setuju akan menjadi teman ternyata benar. Suatu hubungan cenderung didasari oleh similar attitudes. Hasil penelitian Condon dan Cranon (1998) menunjukkan bahwa kesamaan merupakan prediktor akan keberadaan ketertarikan. Bukti lain yang mendukung hubungan antara similar attitude dengan ketertarikan adalah penelitian yang dilakukan oleh Schuster & Elderton (dalam Baron & Bryne, 2000). Mereka meneliti lebih dari empat ratus keluarga dan hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa terdapat kesepakatan yang sama dan signifikan antara suami istri mengenai topik politik dan agama. Newcomb (dalam Baron & Bryne, 2000) meneliti pembentukan pertemanan antara mahasiswa semester satu di University of Michigan. Hasil penelitiannya menunjukan similar attitudes menyebabkan ketertarikan, sementara dissimilar attitudes menimbulkan ketidaktertarikan.
Mengapa orang cenderung mencari teman yang memiliki similar attitudes dengan dirinya? Menurut teori perbandingan sosial yang dikemukakan oleh Festinger (dalam Baron & Byrne, 2000), seseorang yang sedang dalam keadaan tidak yakin dengan kepercayaannya termotivasi untuk melakukan perbandingan. Asumsi dari teori tersebut adalah kita menginginkan seseorang yang mirip dengan kita, baik dalam hal minat dan kepribadian. Hal ini disebabkan jika orang lain memiliki similar attitudes dengan yang kita miliki, kita merasa bahwa pendapat kita juga benar. Mereka memberi consensual validation─validasi persepsi dari pandangan seseorang ketika orang lain memiliki pandangan yang identik atau sama. Bayangkan ketika Anda adalah satu-satunya orang yang setuju prostitusi dilegalkan di lingkungan Anda, Anda akan merasa diri Anda aneh karena memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang di sekitar Anda. Namun, ketika Anda menemukan seseorang yang sama-sama setuju prostitusi dilegalkan, Anda merasa Anda tidak melakukan suatu kesalahan karena tidak berbeda dengan orang-orang di sekitar Anda. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan false consensus effect─jika ada seseorang yang setuju dengan saya maka semua orang juga akan setuju. False consensus effect yang menimbulkan seseorang percaya bahwa “most everyone agrees with me” ditemukan dari hasil penelitian Tan & Singh (dalam Baron & Byrne, 2000) pada anak-anak. Selain itu, hasil penelitian Fabrigar & Krosnick (dalam Baron & Byrne, 2000) menunjukan false consensus effect juga ditemukan diantara orang-orang dalam populasi, seperti diantara mahasiswa.

Apa yang terjadi ketika seseorang setuju dengan pendapat kita? Mengapa begitu? Byrne & Nelson (dalam Baron & Byrne, 2000) berpendapat bahwa evaluasi penilaian kita terhadap seseorang tergantung proporsi dari similar attitudes yang dimiliki orang tersebut, tidak peduli berapa pun jumlah topiknya empat ataupun empat ratus. Semakin tinggi proporsi similar attitudes, semakin kita menyukai orang tersebut. Seperti halnya Fidia, Risa, dan Muthi, Anda pasti pernah membicarakan hal-hal yang menurut Anda bersifat prinsip atau Anda memiliki kepercayaan kuat tentang hal tersebut. Bayangkan sekarang, Anda sedang membicarakan mengenai politik, agama, hal-hal yang disukai dan tidak disukai dengan beberapa teman Anda. Jika salah seorang teman Anda setuju dengan Anda sembilan pandangan dari sepuluh topik yang dibicarakan, umumnya Anda akan memiliki kesan bahwa dia menyenangkan. Anda berharap dapat menghabiskan waktu bersamanya. Bayangkan jika Anda adalah orang yang tidak suka merokok sementara teman Anda suka merokok, Anda cenderung memandang negatif teman Anda. Akan tetapi berbeda halnya jika Anda adalah seorang perokok, Anda akan menyukai teman Anda yang perokok. Hal tersebut  sesuai dengan pendapat Montoya & Harton (dalam Myers, 2009) ketika seseorang memiliki pandangan yang sama dengan kita, kita tidak hanya menghargai perilakunya tetapi juga memiliki pandangan baik mengenai dirinya. Sementara itu, kita cenderung memandang negatif orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kita. Hal ini sesuai dengan pendapat Tangh dan Singh (dalam Baron & Byrne, 2000) bahwa  jika seseorang tidak setuju dengan Anda maka respon negatif Anda terhadap orang tersebut akan lebih kuat dibandingkan respon positif. 
Anehnya, ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa mereka harus mencari pasangan yang berbeda dengan mereka atau sering disebut opposites attract. Mungkin Anda pernah mendengar bahwa Anda seharusnya mencari seseorang yang berbeda dengan Anda agar kalian berdua bisa saling melengkapi. Dalam psikologi, teori tersebut disebut personality complement hypothesis. Teori tersebut dikemukakan oleh Winch (dalam Berscheid & Regan, 2005). Contohnya, jika Anda adalah seorang yang dominan maka Anda akan tertarik untuk mencari orang yang penurut. Jika Anda cerewet maka Anda akan mencari orang yang pendiam. Teori tersebut memang terdengar logis, tetapi sayangnya banyak hasil penelitian justru membuktikan bahwa seseorang cenderung memilih orang yang mirip dengannya jika diberi kesempatan untuk memilih, seperti penelitian oleh Berscheid (dalam Baron & Byrne, 2000), Zajonc (dalam Baron & Byrne, 2000), dan Buston & Emlen (dalam Myers, 2009). Berscheid menemukan bahwa seseorang cenderung mencari pasangan yang memiliki tingkat ketertarikan fisik yang sama. Seseorang yang cantik cenderung berpasangan dengan seseorang yang tampan. Sementara Zajonc (dalam Baron & Byrne, 2000) menemukan kecenderungan memilih pasangan yang similar ketika seseorang sedang berpacaran ataupun pada pasangan yang sudah menikah. Bahkan, seseorang cenderung bereaksi negatif ketika bertemu dengan seseorang yang tidak cocok dengan mereka. Pasangan yang memiliki dissimilar attitudes menganggap pasangan mereka kurang kemampuan, kurang disukai dan merasa kurang puas dibanding pasangan yang yang memiliki banyak persamaan. Buston & Emlen (dalam Myers, 2009) melakukan survey pada seribu orang di usia perkuliahan dan ternyata keinginan mereka untuk menemukan pasangan yang similar dengan mereka lebih kuat dibandingkan memilih pasangan yang fisiknya menarik. Contoh seseorang yang kaya secara ekonomi menginginkan pasangan yang status ekonominya sama. Seseorang yang mengutamakan keluarga juga menginginkan pasangan yang mengutamakan keluarga. Bahkan seseorang yang antisosial cenderung menikah dengan orang yang antisosial juga.
Kelebihan dissimilar attitudes bukanlah personality complement hypothesis, melainkan self-esteem maintanance theory yang dikemukakan Campbell & Tesser (dalam Kenrick, Neuberd, & Cialdini, 2007). Self-esteem maintanance theory adalah teori bahwa seseorang cenderung mencari orang yang memiliki dissimilar attitudes untuk menghindari perbadingan yang dapat merusak self-esteemnya. Sebagai contoh Anda dan saudara Anda sama-sama berbakat bermain alat musik biola, kemudian saudara Anda sering memenangkan perlombaan sementara Anda tidak. Hal tersebut membuat Anda merasa sedih dan tidak berharga. Lain halnya jika saudara Anda berbeda bakatnya dengan Anda, misalnya saudara Anda berbakat menulis dan sering memenangkan perlombaaan, Anda akan cenderung merasa bahagia karena memiliki keistimewaan yang berbeda. 

Walaupun dissimilar attitudes dapat mempertahankan self-esteem seseorang, Anda perlu tahu bahwa permasalahnnya adalah jarang sekali kita menyukai seseorang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kita. Anda mungkin berpendapat saya dan teman saya memiliki banyak perbedaan, dia Cina, saya Sunda, dia ceria, saya pemurung, saya Leo, dia Aquarius, dia Katolik, saya muslim,  tetapi kami bisa berteman. Sekarang saya meminta Anda menulis daftar jenis dan jumlah dissimilar attitudes dan similar attitudes Anda dengan teman Anda. Manakah yang lebih banyak? Dissimilar attitudes atau similar attitudes? Jawabannya tentu similar attitudes, bukan? Hal yang membuat Anda tetap bersama dengan teman Anda hingga saat ini adalah persamaan Anda dengannya. Apabila jumlah similar attitudes lebih sedikit, bagaimana perasaan Anda terhadap similar attitudes yang Anda miliki? Perbedaan yang ada antara Anda dan teman Anda tentunya sesuatu yang Anda bisa tolerir bukan? Jika Anda seseorang yang rapi, teratur, dan terjadwal mungkinkah Anda menyukai seseorang yang berantakan, hidup dengan penuh kejutan, dan tanpa rencana? Tentu saja tidak. Lalu bagaimana jika Anda menyukai musik rock sementara teman Anda menyukai musik klasik? Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah seperti  ini:
A: “Loe nonton konser musik Tribute to Nodame kemarin ngga?”
B: “Hah? Apaan tuh? Baru denger.”
A:”Itu konser musik klasik.”
B:”Yah.. musik klasik kan bikin ngantuk. Musik rock dong.”
Kemungkinan besar Anda akan berdebat dengannya berusaha membuatnya menyukai musik klasik juga atau Anda diam saja karena merasa kecewa dan berkata pada diri Anda sendiri bahwa Anda tidak akan berbicara dengan dirinya lagi mengenai musik karena kalian tidak cocok satu sama lain. Jika Anda memiliki begitu banyak perbedaan, apa yang bisa Anda dan teman Anda bicarakan? Tetapi coba bayangkan jika Anda dan teman Anda memiliki minat yang sama, entah sama-sama menyukai musik rock atau sama-sama menyukai musik klasik. Tentu saja akan menyenangkan bagi kalian berdua menghabiskan waktu bersama, baik membicarakan mengenai jenis musik yang kalian berdua sukai atau pergi ke konser bersama. Contoh lain jika Anda orang yang boros sementara teman atau pasangan Anda sangat hemat. Biasanya teman Anda yang hemat akan berusaha mengubah Anda menjadi hemat dengan memberi berbagai macam nasihat, Anda sebagai orang yang boros akan merasa diri Anda diatur dan mulai tidak menyukai teman Anda. Jika diantara kalian berdua tidak ada yang berubah, kemungkinan besar kalian berdua merasa tidak cocok satu sama lain dan menghabiskan waktu dengan bertengkar. Bukankah biasanya pasangan berpisah dengan alasan “We have nothing in common”? 

Bukti yang menentang dissimilarity attitudes menimbulkan ketertarikan adalah penelitian oleh Rossebaum (dalam Berscheid & Regan, 2005) menunjukan bahwa dissimilarity attitudes menghasilkan repulsion─ketidaksukaan seseorang terhadap orang yang berbeda dangan mereka. Penelitian yang hampir serupa dilakukan oleh Ickes (dalam Berscheid & Regan, 2005), orang-orang yang berbeda orientasi seksualnya justru lebih sedikit terlibat dalam interaksi dan juga lebih kurang menyukai satu sama lain dibandingkan orang-orang yang sama orientasi seksualnya. 

Dapat disimpulkan bahwa seseorang cenderung mencari orang yang memiliki similar attitudes dengan dirinya, dibanding dissimilar attitudes. Ada beberapa alasan mengapa seseorang cenderung mencari teman yang memiliki similar attitudes, yaitu seorang teman yang similar attitudes dengan dirinya akan memberikan consensual validation, similar attitudes menimbulkan ketertarikan dan Anda dapat menghabiskan waktu bersama lebih banyak jika teman Anda memiliki similar attitudes. Oleh karena itu, orang cenderung akan memberi respon positif jika bertemu dengan orang yang memiliki similar attitudes dengan dirinya. Akan tetapi, bukan berarti Anda harus berubah atau teman Anda harus berubah jika teman Anda memiliki dissimilar attitudes. Permasalahkan dissimilar attitudes dalam pertemanan tidak harus diperdebatkan karena hanya membuat seseorang merasa tidak nyaman. Jika Anda menemukan orang yang memiliki similar attitudes dengan Anda, bukan berarti Anda benar dan ketika Anda menemukan orang memiliki dissimilar attitudes, bukan berarti Anda salah.


Daftar Pustaka

Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social psychology. (9th ed.). Massachusetss:  Allyn and Bacon.
Berscheid, E., & Regan, P. (2005). The psychology of  interpersonal relationships. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Condon, J. W., & Crano, W. D. (1988). Inferred evaluation and the relation between attitude similarity and interpersonal attraction. Journal of Personality and Social Psychology, 54(5), 789-797. doi: 10.1037/0022-3514.54.5.789
Degelman, D. (2010). APA style essentials. Retrieved from  http://www.vanguard.edu/faculty/ddegelman/detail.aspx?doc_id=796
Myers, D.G. (2009). Exploring social psychology. (5th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Kenrick, D.T., Neuberd, S. L., & Cialdini, R. B. (2007) Social psychology: goals in interaction. (4th ed.). Boston: Allyn & Bacon.






Three Reasons Why Students Hate History

|

Three Reasons Why Students Hate History

We seldom hear students say “I love history” because most students hate history lesson. When our president, Susilo Bambang Yudhoyono was a student, he probably hate history lesson, too. The prove that he hate history lesson stated in his statement while opening a Cabinet meeting on a bill about Yogyakarta’s privileges
“Our country is based on laws and is a democratic country, therefore, we shall not ignore democratic values and there should not be a monarchical system, which is against the Constitution and democratic values.”
President Susilo Bambang Yudhoyonos statement made the people in Yogyakarta angry because he is considered to have forgotten the history of the birth of the privileges of Yogyakarta. I believe the reason why SBY forgot history of the birth of the privileges of Yogyakarta because he hate history lesson. However, he is not alone because many people hate history lesson, too. In my opinion, there are four reasons why students hate history; such as many students feel learning history does not make sense, they do not know to apply the benefits, and there are too many things to memorize.

Most students hate history because they feel history lesson does not make sense. They confuse why the teachers and school do not tell them about what future will be and how to handle it. Most of them said, “We are going to school to prepare our future, why we study about past?” They think it does not make sense to learn about death people and past because they do not see correlation between learning dates, names of death people, past event (read: history) and their future. That is why they hate history because they feel history lesson do not make sense.

Many students have asked “How can we benefit our present life by reading pages on long forgotten events (read: history)?” The answers are usually printed in history’s textbooks. Most of the first chapter in history’s textbook explains the benefits of learning history, such as: history as key to understanding future, a way to enrich the present, a contribution to liberal education, teaches humility, teaches a healthy skepticism, and influences human thought processes. Unfortunately, our curriculum made benefits of learning history as something to memorize, not to apply it in our everyday life. When I was a senior high student, history lesson was given once a week and only one study period (45 minutes). Teachers have limited time to help their students evaluate, analyze, or synthesize information. What make things worse are history lesson’s curriculum demand students to explain many events, for example: Indonesia’s proclamation and the establishment of Hindu-Buddha’s kingdoms. They demand an exhaustingly relentless processing of low-level knowledge and as a result the students only learn the definitions, not essential thing. They do not learn what lesson that they can benefit from learning history or what they can do to prevent tragedy. Curriculum makes students do not know how to apply the benefits in learning history in their everyday life. No wonder, many student think history are useless and wasting their time because they only remember the benefits but they do not know how to apply it.
The third reason why many student hate history that there are too many things to memorize. History is purely a test of your memory because history is rich in detail. From day one, students are in a race to memorize as many names, places, dates, and laws as possible.  When I am in second grade senior high school, I was expected to learn (read: memorize) the Hindu-Buddha’s kingdoms (400 M) until Indonesia’s Independence Day (1945). Can you imagine my friends and I (read: students) are expected to remember things that happened from 400 M to 1945 M? We are talking about covering a period from the 4th century to 1945. In other word, the students are forced to read and remember whole textbook. I believe forcing student to memorize many things is no way to encourage a passion for learning history. Instead, it is a cause of immense stress to students. No wonder many students hate history lesson.
Although we know learning history has many benefits, such as: history as key to understanding future, a way to enrich the present, a contribution to liberal education, teaches humility, teaches a healthy skepticism, and influences human thought processes, many students still hate history lesson regardless of its benefits in learning history. It happened because they feel learning history do not make sense, they do not know how to apply the benefits, and there are too many things to memorize. I believe if we change the curriculum and make student understand the benefits, they may change their mind and like history lesson.
References

King, B. D., Wayne, V., & Woody, W. D. (2009). History of psychology: Ideas and context (4th Ed.). Boston: Pearson Education, Inc.

Maulia, E. SBY denies controversial statement on yogya. http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/02/sby-denies-controversial-statement-yogya.html (03-12-2010)

Reed, J. Why your kids hate history: Mile wide, inch deep. http://www.examiner.com/history-geek-in-national/why-your-kids-hate-history-mile-wide-inch-deep.html  (03-12-2010)

 Suryandari, S. Jangan ulangi kesalahan masa lalu. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/11/184895/3/1/Jangan-Ulangi-Kesalahan-Masa-Lalu.html. (01-12-2010)

 



Berteman setelah Putus?

|

Berteman setelah Putus?

Saya terkejut ketika menemukan salah seorang teman saya,  Sasa menangis terisak-isak di pojok ruangan. Saya bertanya padanya apa yang menyebabkannya menangis terisak-isak. Namun  Sasa tidak menjawab dan melanjutkan tangisannya. Akhirnya saya bertanya kepada sahabatnya, Vo yang kebetulan berada tepat di sampingnya. Dari Vo, saya mengetahui bahwa ternyata  Sasa baru saja putus dari pacarnya. Akan tetapi yang membuatnya menangis bukanlah karena dia putus dari pacarnya─ternyata  Sasa memang sejak lama menginginkan putus dari pacarnya karena mantan pacarnya mudah cemburu. Namun yang menyebabkan  Sasa menangis adalah reaksi mantan pacarnya. Mantan Pacarnya memberitahu  Sasa bahwa dia tidak mau berhubungan lagi dengan  Sasa setelah putus sementara  Sasa berharap mereka berdua masih bisa berteman setelah putus. Pernahkah anda atau teman anda mengalami kasus yang serupa dengan yang dialami teman saya,  Sasa?
Putus merupakan pengalaman yang paling menyakitkan dalam hidup. Bahkan, penyanyi dangdut ternama di Indonesia, Roma Irama mengatakan lebih baik sakit gigi dibanding sakit hati Hal ini disebabkan ketika putus, seseorang tersiksa secara psikologis dan fisik. Ketika putus, seseorang merasa sedih, depresi, marah, kesepian dan tidak berharga. Selain merasa sedih dan tertekan, banyak orang yang merasa kesehatan mereka terganggu, seperti sakit kepala, maag, ganguan makan, dan tidur menjadi tidak teratur..
Duck (1982, dalam Aronson, Wilson, & Akert 2007) mengemukakan teori four stage atau empat fase berakhirnya sebuah hubungan. Fase dimulai dari fase intrapersonal─individu memikirkan perasaan tidak puas dengan hubungannya. Kemudian berlanjut ke fase dyadic─individu membahas keinginan putus dengan pasangannya. Fase ketiga adalah fase social─mengumumkan status putus kepada orang lain seperti teman dan keluarga. Fase terakhir adalah fase intrapersonal─individu memulihkan diri dari putus dan membuat versi bagaimana dan mengapa hubungannya berakhir.

Lalu bagaimana dengan hal yang dialami teman saya,  Sasa? Apakah orang masih ingin tetap berteman setelah putus? Ternyata hal tersebut tergantung peran atau posisi─menjadi orang yang memustuskan (breakers) atau yang diputuskan (breakees) dan gender. Akert (1998, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007) menemukan bahwa lelaki tidak tertarik tetap berteman dengan mantan pacarnya, tidak peduli dia di posisi breakers atau breakees. Sementara perempuan cenderung ingin tetap menjadi teman, terutama ketika mereka di posisi breakees. Lelaki cenderung ingin memutus hubungan dengan mantannya dan melangkah ke depan. Sementara, perempuan menginginkan melanjutkan koneksi perasaan yang pernah terjalin dengan mantan pacar mereka, berharap mereka dapat mengubah intimate relationship menjadi platonic friendship. Jadi, jika mantan pacar anda (lelaki) tidak ingin berhubungan dengan anda setelah putus, maka anda jangan heran. Sementara. jika mantan pacar anda (perempuan) menginginkan anda dan dia tetap berhubungan setelah putus itu merupakan hal yang wajar.
Kesimpulannya putus salah satu pengalaman yang menyakitkan dan menyedihkan dalam hidup karena menyiksa psikologis dan fisik. Menurut Duck (1982, dalam Aronson, 2007) ada empat fase proses putusnya suatu hubungan, yaitu:
intrapersonal fase            dyadic fase            social fase               intrapersonal fase.
Ternyata setelah putus, tidak semua orang menginginkan tetap berteman dengan mantan mereka, tergantung posisi─breakers atau breakees dan gender. Lelaki cenderung menginginkan tidak berhubungan lagi dengan mantannya, tidak peduli dia sebagai breakers atau breakees. Sementara perempuan cenderung menginginkan setelah putus, mereka tetap berteman dengan mantan mereka terutama ketika mereka sebagai breakees.

Daftar Pustaka
Aronson, E., Wilson, T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th ed.). Upper Saddle River : Pearson Education, Inc.

Dilema SMS dan Email

|

Dilema SMS dan Email

Saya pernah mengirim sms kepada teman saya “Wah.. sombong nih ngga pernah ngasih kabar lagi”. Dia membalas sms saya dengan permintaan maaf berulang kali. Awalnya saya kebingungan karena saya bermaksud bercanda. Namun, teman saya mengira bahwa saya serius dan mengira saya marah padanya. Saya kemudian membaca ulang sms saya dan saya kemudian sadar sms saya bisa berupa sindiran jika dibaca dengan nada sinis dan pemenggalan “Wah.. sombong nih, ngga pernah ngasih kabar lagi.”. Saya berasumsi kemungkinan teman saya membaca sms tersebut dengan serius. Hal tersebut disebabkan karena  karakter saya yang serius. Saya seharusnya memberikan emoticon atau menambahkan kata-kata seperti Just Kidding. Saya seharusnya menyadari adanya kemungkinan salah paham dalam menerjemahkan sms yang saya kirim karena dalam komunikasi nonverbal, teman saya sebagai penerima sms tidak dapat melihat ekspresi wajah  dan intonasi perkataan saya.
Saat saya membaca Social Psychology ternyata kesalahpahaman sering terjadi dalam komunikasi nonverbal.  Kruger, Epley, Parker, & Ng (2005, dalam Aronson, Wilson & Akert, 2007)  meneliti komunikasi melalui email, suara dan tatap muka diantara mahasiswa kepada teman mereka dan orang asing. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kruger, dkk. (2005, dalam Aronson, Wilson & Akert, 2007) menunjukkan bahwa pengirim pesan memiliki kepercayaan diri yang tinggi bahwa mereka bisa mengkomunikasikan sindiran, humor, kesedihan, dan keseriusan dalam ketiga jenis komunikasi tersebut. Mereka mengira pesan yang mereka sampaikan sudah cukup jelas karena email sudah diberi emoticon seperti J. Namun ternyata kebanyakan dari mereka gagal mengkomunikasikan emosi yang mereka rasakan jika melalui email. Penerima pesan yang merupakan teman dan orang asing sama-sama gagal menerjemahkan atau menginterpretasikan maksud pengirim pesan. Hasil penelitian tersebut tersaji dalam bentuk grafik di bawah ini:
Penelitian tersebut membuktikan kata-kata dan emoticon belum dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan pengirim pesan secara jelas. Hal tersebut terbukti keakuratan penerima pesan dalam email hanya 60% sementara keakuratan penerima pesan ketika berkomunikasi melalui suara dan tatap muka lebih tinggi. Hal ini membuktikan intonasi suara dan ekspresi wajah memiliki pengaruh dalam kejelasan penyampaian pesan.
Pelajaran yang saya dapat berdasarkan pengalaman yang saya alami dan hasil penelitian yang dilakukan Kruger, dkk. (2005), adalah kita harus berhati-hati dalam berkomunikasi melalui email dan sms karena kesalahpahaman dapat terjadi. Hal tersebut disebabkan penerima pesan tidak dapat melihat ekspresi wajah dan intonasi kita sehingga penerima pesan mengalami kesulitan dalam menerjemahkan pesan yang disampaikan pengirim pesan.
Daftar Pustaka
Aronson, E.,  Wilson, T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th ed.). Upper Saddle River : Pearson Education, Inc.

Kenalilah diri anda

|

Kenalilah diri anda

Filsuf Yunani Socrates pernah berkata “Kenalilah dirimu”. Anda juga sering mendengarnya bukan? Pertanyaan “Siapakah anda?” sering diajukan agar anda mendreskipsikan diri anda, kelebihan dan kekurangan anda. Pertanyaan tersebut terkesan mudah untuk dijawab. Namun kenyataannya, sering sekali banyak orang tidak mampu menjawabnya. Ketika diajukan pertanyaan tersebut, teman-teman saya sering kali malah balik bertanya “Eh, gue orangnya kayak gimana sih?”.
Mengapa kita perlu mengenal diri kita sendiri? Keuntungan pertama adalah seseorang yang mengenal dirinya mengetahui apa yang ia rasakan dan alasan dari tingkah lakunya. Contohnya jika seseorang mengetahui bahwa dirinya memiliki kecemasan yang tinggi dan tidak mampu belajar dengan SKS (Sistem Kebut Semalam), maka dia akan belajar dengan menyicil. Jika dia tidak mengetahui bahwa dia memiliki kecemasan yang tinggi dan tidak mampu belajar dengan sistem kebut semalam, tetapi malah belajar dengan sistem kebut semalam maka kemungkinan besar dia akan merasa panik dan cemas namun dia kebingungan apa yang menyebabkannya panik dan cemas.
Keuntungan kedua mengenal diri sendiri adalah seseorang dapat menentukan strategi hidup disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangan diri yang dimiliki untuk mendapatkan tujuan hidupnya. Dengan mengetahui kelebihannya, seseorang tahu apa saja yang kekuatan yang mendukung untuk memperoleh mimpinya. Sementara dengan mengetahui kekurangan, seseorang bisa memperkirakan hal-hal apa saja yang mungkin menghambatnya dalam memperoleh tujuan dan mengambil tindakan yang mampu membantunya mengatasi hal-hal yang mungkin menghambatnya. Sebagai contoh Rani adalah seorang mahasiswa yang pekerja keras, teroganisir, terjadwal, tertutup, sulit beradaptasi dan tidak berani mengambil resiko. Rani bercita-cita lulus S1 dalam waktu 3,5 tahun dan IPK di atas 3. Kelebihan Rani adalah pekerja keras, terorganisir, terjadwal. Dengan kelebihannya, Rani bisa sukses di bidang akademik dan mewujudkan mimpinya untuk lulus S1 dalam waktu 3,5 tahun dan IPK di atas 3. Namun sifatnya yang tertutup, sulit beradaptasi dan tidak berani mengambil resiko akan menghambatnya sukses di perguruan tinggi. Jika Rani tidak mengetahui kelebihan dan kekurangannya, Rani akan kebingungan menentukan tindakan apa yang perlu dia lakukan. Sementara jika Rani mengetahui kelebihan dan kekurangannya, Rani bisa mengoptimalkan kelebihannya dan meminimalisir kekurangannya. Mengenal diri sendiri akan memberikan kesempatan untuk merubah hal-hal yang ingin diubah, dan mewujudkan kehidupan yang diinginkan.
Lalu bagaimana caranya agar kita mengenal diri kita? Proses mengenal diri dapat dilakukan melalui introspeksi yang dilakukan oleh diri sendiri dan umpan balik yang diberikan oleh orang lain. Namun diantara dua cara tesebut, umpan balik dari orang lain lebih efektif karena sulit bagi seseorang menilai dirinya sendiri secara obyektif. Hal ini disebabkan sulit bagi seseorang untuk melepaskan subyektivitasnya dalam menilai diri sendiri. Selain itu, orang lain lebih mudah menilai secara obyektif.

Ada dua alasan yang menyebabkan mengenal diri sendiri sangatlah penting. Alasan pertama yaitu seseorang yang mengenal dirinya mengetahui apa yang ia rasakan dan alasan dari tingkah lakunya. Alasan kedua adalah seseorang dapat menentukan strategi hidup yang disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangan dirinya untuk mendapatkan tujuan hidupnya. Cara mengenali diri sendiri ada dua yaitu melalui introspeksi diri dan umpan balik dari orang lain. Namun cara mengenal diri sendiri dari umpan balik dari orang lain lebih efektif karena penilaian yang diberikan lebih obyektif.

Daftar Pustaka

Singgih-Salim, E. E. & Zarfiel, M.D. (2006). Pengenalan diri In Singgih-Salim, E. E. & Sukadji, S. (Eds.), Sukses belajar di perguruan tinggi (pp. 141-149). Yogyakarta: Panduan.

Dementor dan Mantra Patronus

|

Dementor dan Mantra Patronus

Dementor─sebuah kata yang pasti tidak asing untuk penggemar Harry Potter, baik novel maupun filmnya. Harry Potter adalah novel anak-anak best-seller karya J. K. Rowling. Harry Potter bertemu pertama kali dengan dementor ketika di tahun ketiganya di Hogwarts.
Dementors are among the foulest creatures that walk this earth. They infest the darkest, filthiest places, they glory in decay and despair, they drain peace, hope, and happiness out of the air around them... Get too near a Dementor and every good feeling, every happy memory will be sucked out of you. If it can, the Dementor will feed on you long enough to reduce you to something like itself...soulless and evil. You will be left with nothing but the worst experiences of your life.Remus Lupin to Harry Potter (harrypotter.wikia.com).
Dementors berasal dari kata dement yang berarti "to make insane" dan kata tormentor yang berarti "one who afflicts with great suffering".  Jadi, dementor berarti "one who inflicts insanity". Dalam kehidupan nyata, dementor bisa diasosiasikan dengan stres. Stes dan dementor memiliki persamaan yaitu dapat membuat seseorang merasa tertekan, sedih, dan putus asa. Definisi stres menurut Taylor (1995 dalam Nietzel, Bornstein, & Milich, 1998) Stress is the negative emotional and psychological process that occurs as people try to adjust to or deal with environmental circumstances that disturpt, or threaten to distrupt their daily function.”. Pemicu stres ada bermacam-macam, misalnya daily hassles, perubahan besar dalam hidup, rasa sakit dan ketidaknyamanan, konflik, bencana alam dan irrational beliefs.
Dalam novel Harry Potter, dementor tidak dapat dibunuh. Hal tersebut merupakan salah satu kemiripan dementor dengan stress, kita tidak dapat menghilangkan stres dari kehidupan kita. Namun bukan berarti dementor dan stress tidak dapat diatasi. Kita dapat mengatasinya. Harry potter menggunakan mantra patronus untuk melawan dementor. Kunci kesuksesan dalam menggunakan mantra tersebut, Harry Potter harus mengingat pengalamannya yang paling membahagiakan. Begitu pula dengan stres,  kita harus mengingat hal-hal positif, mencoba tertawa dan melakukan hal yang kita sukai agar dapat mengatasi stres.
Kisah Harry Potter melawan domentor merupakan ilustrasi yang digunakan pengarang, J.K. Rowling untuk menggambarkan stres yang bisa datang kapan saja dan bagaimanan cara mengatasinya. Alangkah baiknya jika kita memandang stress sebagai suatu situasi yang dapat diselesaikan dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri.

Terinspirasi
Workshop Pemahaman Diri tanggal 27 November 2010 di Auditorium Psikologi Universitas Indonesia
Daftar pustaka
Nietzel, M.T., Berstein, D.A., & Milich, R. (1998). Introduction to clinical psychology. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Dementor. (n.d.) Retrieved from http://harrypotter.wikia.com/wiki/Dementor


Post Signature

Post Signature