Top Social

Identitas Suku

|
well, ini esai yang Hana lampirkan di tugas pohon keluarga pada mata kuliah psikologi lintas budaya.. tadinya udah buat tiga halaman (padahal baru setengah dari yang mau diceritakan), eh... tahunya disuruh cuma satu halaman.. jadinya esai ini udah sangat diringkas.. hehe :)

Abi, Huang, Hana, Umi dan Memey




Sunda-Cina1. Itu adalah jawaban yang sering saya gunakan ketika mendapat pertanyaan mengenai identitas suku. Kadang, saya mengikuti jawaban adik saya, Memey, yaitu Citong[1] (Cina Sepotong). Sayangnya, saya sering dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan saya memilih salah satu diantara dua identitas suku tersebut, contohnya ketika mengisi formulir pendaftaran. Jika hal tersebut terjadi, saya mengalami dilema karena saya merasa keduanya merupakan identitas saya yang tidak dapat saya pisahkan. Saya pun sering berkhayal akan muncul pilihan baru saat mengisi formulir: Sunda-Cina1. Namun, hal tersebut sepertinya mustahil maka saya cenderung memilih suku Sunda sebagai identitas saya. Mengapa? Hal itu disebabkan saya lebih sering berinteraksi dengan keluarga dari pihak ibu dibanding keluarga ayah. Saya dibesarkan di Karawang, kampung halaman keluarga ibu. Selain itu, keluarga dari pihak ibu tinggal berdekatan, sehingga saya dapat bertemu dengan mereka setiap hari. Alasan lain pengaruh budaya Sunda lebih besar pada diri saya karena ayah saya menyerahkan pengasuhan sepenuhnya kepada ibu dimana ayah sedikit terlibat. Saya juga sering dilibatkan dalam acara tradisi Sunda seperti pernikahan, akikah, dan sidekah tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, naun, mendak (ketemu tahun kematian).
Salah satu pengaruh budaya Sunda dalam kehidupan saya adalah dari segi bahasa. Keluarga ibu sering menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari sehingga saya mengerti bahasa Sunda walaupun saya jarang menggunakannya dan saya terpengaruh menggunakan huruf p untuk kata-kata yang sebenarnya menggunakan huruf f. 
Budaya Sunda sangat menekankan sopan-santun. Sejak kecil saya sering diajarkan hormat pada orang yang lebih tua, seperti salim (mencium tangan) kepada orang yang lebih tua dan menggunakan penyebutan nama menggunakan hirarki seperti aa, teteh, nini, aki, uwa, dsb. Selain itu, saya sering ditekankan untuk kenal saudara untuk mencegah pernikahan antarsaudara dekat dan dapat saling menolong saat kesulitan. Nilai lain yang ditekankan adalah teguh pada agama dengan mengajarkan anak beribadah sejak dini.
Bicara soal agama, keluarga ayah saya termasuk keluarga yang demokratis karena memperbolehkan Ayah saya masuk Islam dan tidak mengusirnya. beberapa teman ayah saya yang Tionghoa dan masuk Islam bersama Ayah saya, ada yang diusir oleh keluarganya. Ayah saya masih berhubungan dengan keluarganya, namun jarang melibatkan saya sehingga saya kurang dekat dengan pihak keluarga ayah. Pengaruh etnis Tionghoa dari ayah saya yang paling saya rasakan adalah faktor genetik atau kondisi fisik saya. Saya memiliki kulit kuning dan rambut lurus. Ketika saya SD dan SMP (saat itu saya belum memakai kerudung), kesan pertama teman-teman terhadap saya adalah Tionghoa dan non-muslim meskipun mata saya tidak sipit. Aneh! Ibu saya berpendapat rambut saya-lah yang membentuk kesan tersebut dan sepertinya hal tersebut benar karena sejak saya menggunakan kerudung, sekarang teman-teman saya justru tidak percaya jika saya bilang saya keturunan Tionghoa. Saya sendiri tidak memiliki prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa karena di lingkungan keluarga ibu atau ayah saya tidak diajarkan hal tersebut. Saya baru mengetahui adanya prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa saat saya mulai duduk di bangku sekolah dan saya mengetahuinya dari teman-teman saya.
Budaya etnis Tionghoa yang masih bertahan dalam keluarga saya adalah nama panggilan. Di rumah, saya dipanggil Jeje dari (姐姐 atau Jie Jie), artinya kakak perempuan. Adik lelaki saya, Huang, awalnya dipanggil de Huang, semenjak memey lahir, dia sempat akan dipanggil Koko yang artinya kakak lelaki. Namun, ibu saya menentang hal tersebut karena nama Huang sendiri sudah memunculkan persepsi bahwa dirinya Tionghoa, sehingga Huang dipanggil Kakak. Adik perempuan saya, Aysyi dipanggil memey, yang berati adik perempuan. Tradisi seperti Imlek, saya hanya ikuti saat saya kecil dan berhenti saat saya kelas dua SD. Setelah itu, ayah saya sering menghabiskan Imlek bersama teman-teman PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Selain itu, sepertinya tidak ada lagi tradisi Tionghoa yang saya ikuti.
Jadi, Sunda atau Tionghoa? Sepertinya saat ini jawaban saya Sunda, tapi, saya akan memilih Sunda-Tionghoa jika pilihan tersebut muncul. Tionghoa-Sunda juga saya setuju. J


[1] Jawaban ini saya gunakan sebelum saya mengetahui bahwa Cina bermakna negatif, sekarang saya menggunakan kata Tionghoa
2 komentar on "Identitas Suku"
  1. Citong -______- kocak ya ade lu hahaha.

    Kalo soal hormat-menghormati orang tua mah han kayanya nggak ada yang lebih luar biasa daripada orang Tionghoa, bayangin aja.. kurang hormat apa mereka sama orang tua/leluhurnya sampai segala patung dikasih penghormatan :p

    BalasHapus
  2. ia nov.. kadang memey ngaku kalau dia blasteran -_-" sejak kapan hasil pernikahan sunda ma tionghoa disebut blasteran? >.<

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Post Signature

Post Signature