Image courtesy of thaikrit at FreeDigitalPhotos.net |
Aku sedang menyesap secangkir green tea latte di sudut sebuah kafe, seorang lelaki datang ke hadapanku.
Dia
tersenyum dan menanyakan kabarku. Untuk beberapa saat kami mengobrol mengenai kabar
dan kesibukan kami masing-masing.
Dadaku
berdegup kencang dan aku keringat dingin. Ini akan jadi hari bersejarah. Dua
bulan lalu, aku memberanikan diri menyatakan cinta padanya dan mengajaknya
menikah.
“Aku
sudah istikharah dan ...” Dia tampak ragu
Aku
menatapnya dengan penuh harap
“I
feel nothing” Dia menatapku lekat-lekat.
“Apakah
ini berarti jawabanmu adalah tidak?” tanyaku dengan suara bergetar
“Kau
tahu, kakak sepupuku nyaris batal menikah karena calonnya orang Padang.
Keluargaku sekonservatif itu.”
“Jadi,
kau ingin bilang bahwa keluargamu tidak menerima yang bukan Tionghoa?”
“Kau
ingat mantanku, Ranti, aku sempat menemui orang tuanya di Medan tapi berita
tersebut diketahui keluarga besarku dan mereka menunjukkan penolakan karena dia bukan amoy* . Saat itu aku hanya tersenyum, meneruskan makan, berpura-pura tidak mendengar,
memikirkan yang mereka ucapkan. Aku
seserius itu dengan Ranti.”
“Bisakah
kita hentikan percakapan ini? Aku ingin menangis.“ Aku berdiri dari kursiku. Aku tidak boleh menangis disini. Aku harus menahannya.
“Mira
...”
“Kita
sudah sama-sama istikharah, kurasa ini jawaban dari Allah. Terima kasih sudah
menepati janji untuk memberikan jawaban.”
Aku
memaksakan diriku tersenyum kemudian beranjak pergi dari kursi.
Dia
mengejarku
“Mir,
sebenarnya aku juga ingin menikah tahun ini, sama sepertimu. Tapi tidak
sekarang, biar aku yang nanti datang melamarmu”
Kakiku
rasanya lemas. Bukankah dia tadi menolakku? Mengapa sekarang memberi pernyataan
yang seolah memberi harap? Batinku
Aku
diam membisu, terlalu bingung untuk menjawab.
Mungkin
ini tidak nyata. Waktunya untuk sadar.
“Sebaiknya aku pulang” ujarku pelan, menghindari tatapannya.
“Kau ingin kuantar pulang? ”
Aku
menggeleng pelan dan kemudian mempercepat langkahku menjauh darinya.
...
Selama
di jalan aku berkali-kali mengatakan pada diriku sendiri “Perkara seorang
muslim itu selalu baik. Jika mendapat
nikmat , dia bersyukur dan jika mendapat musibah, dia bersabar” Air mataku
mengalir dan merasakan napasku sangat sesak. “Saat ini kau menangis karena kau
tidak mengerti, Mira. Kau harus ingat bahwa Allah tidak pernah zalim kepada
hambaNya. Allah Maha Baik and He is the best planner. “
“Ya
Allah, bantulah hamba untuk bersabar, bersyukur, dan memahami hikmah dibalik peristiwa ini.”
Aku mengambil hapeku dan mulai mengetik di
notes. Menulis surat untuk diriku sendiri.
Assalamu’alaikum Amira
Terima kasih telah memberanikan diri mengajak
lelaki yang kau cintai menikah
Terima kasih telah mempertaruhkan harga
dirimu
Mungkin kau akan sulit menerima penolakan,
tapi percayalah itu keputusan Allah untukmu
Allah tidak pernah zalim terhadap hambaNya
Dia selalu memberikan yang terbaik
Allah tidak lalai memberi yang tidak kita
minta, apalagi memberi yang kita minta
Bersiaplah untuk menerima lebih baik, lebih
indah dari yang dibayangkan
It is not the way you imagined
It is even better
Terima kasih sudah berdoa dan shalat
istikharah
Itu suatu kemajuan
Kalau khawatir, ubah khawatir itu menjadi doa
Percayalah nanti saat kau telah tua, kau justru
akan menyesali hal-hal yang tidak kau lakukan, bukan yang telah kau lakukan.
Semangat!
Ambil hikmahnya!
I am proud of you!
Aku membaca kembali surat untuk diriku sendiri.
Aku terisak.
Terima kasih Allah.
Alhamdulillah ala kuli hal
Terima kasih untuk diriku sendiri.
Aku membaca kembali surat untuk diriku sendiri.
Aku terisak.
Terima kasih Allah.
Alhamdulillah ala kuli hal
Terima kasih untuk diriku sendiri.
*Amoy = perempuan berparas cantik, keturunan Tionghoa
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D