“Orang bijak belajar dari kesalahan orang lainsementara orang bodoh belajar dari kesalahan diri sendiri”
Gue pernah denger kata-kata bijak itu waktu
kecil (entah dari siapa, kapan dan bagaimana), yang jelas kata-kata tersebut
memengaruhi hidup gue sampai sekarang karena kata-kata bijak tersebut pernah
gue jadikan nilai/prinsip dalam hidup gue. Gue ingat ketika menemukan kalimat
tersebut gue merasa kebingungan sehingga kemudian gue bertanya kepada Umi
mengenai arti kalimat tersebut. Umi
menjawab bahwa kalimat tersebut berarti orang bijak belajar dari
pengalaman orang lain, mengambil hikmahnya sehingga tidak melakukan kesalahan,
sementara orang bodoh tidak belajar dari pengalaman orang lain sehingga dia
sering melakukan kesalahan. Umi gue menjelaskan salah satu cara menjadi orang
bijak adalah mendengarkan nasehat orang tua karena orang tua lebih
berpengalaman, sehingga diharapkan jika gue mendengarkan nasehat orang tua gue
tidak melakukan kesalahan yang sama dengan yang telah dilakukan mereka. Semenjak
saat itu, gue berusaha sebisa mungkin mendengarkan nasehat orang tua dan
belajar sebanyak-banyaknya dari lingkungan di sekitar gue agar gue dapat
menjadi orang bijak. Tapi kata-kata bijak tersebut membuat gue menganggap diri
gue bodoh tiap kali gue melakukan kesalahan. Gue baru mulai berhenti
menggunakan kata-kata bijak tersebut ketika SMA gue mendengar kata-kata bijak,
berupa “Orang pintar adalah orang yang belajar dari kesalahan sendiri sementara
orang bodoh adalah orang yang tidak belajar dari kesalahan.” Gue tentu saja
kaget mendengarnya karena ternyata penggolongan orang tidak hanya terbatas
orang bijak dan bodoh tapi masih ada orang pintar dan orang bodoh. Hal yang
sempat membingunkan gue adalah fakta bahwa ada dua penjelasan berbeda mengenai
orang bodoh. Tapi akhirnya gue memilih mendefinisikan ulang tentang orang
bodoh.
Itu yang gue
ketahui.. Gue pikir kata-kata “Orang bijak belajar dari kesalahan orang lain
sementara orang bodoh belajar dari kesalahan diri sendiri” sudah gue buang
jauh-jauh.. tapi ternyata tidak. Secara tidak langsung, kata-kata bijak
tersebut berperan membuat gue takut sama
senior. Dari film yang gue tonton, dari novel yang gue baca, gue sering
nemu tokoh senior/kakak yang suka nge-bully adiknya. Bahkan dalam kehidupan
sehari-hari pun, gue sering menemukan sosok kakak yang suka nge-bully. Walaupun
diri gue sendiri seorang kakak tapi gue menganggap gue termasuk pengecualian
karena gue jarang ngebully. Salah satu peristiwa yang cukup membekas dalam
hidup gue adalah ketika gue melihat temen-temen sebaya gue, yang waktu itu
duduk di bangku kelas 5 SD, melabrak junior yang melakukan kesalahan. Peristiwa
labrak-melabrak ini ternyata terus berlanjut sampai SMP. Gue ngga pernah jadi
korban sih, lebih sering jadi observer,
dan kadang kesalahannya menurut gue sepele, kayak dianggap ngga sopan (pakai
standar kesopanan yang mana?) , pakai make up ke sekolah (dianggap kecentilan),
dll.
Hal lain yang
gue perhatiin adalah junior yang dilabrak sama senior adalah junior yang
dikenal sama senior, sementara junior yang ngga dikenal sama senior ya ngga
dilabrak. Lesson learn: jangan kenal
deket sama senior karena ada kemungkinan gue bakal dilabrak sama mereka.
(kenapa gue punya potensi? di rumah, umi sering bilang kalau gue itu ngga sopan
dan bagaimana kalau gue dilabrak sama senior karena alasan yang sama? dan gue
juga ngga yakin gue bisa jadi flawless junior).
Akhirnya gue pun memutuskan untuk selalu main sama temen sebaya/seangkatan
(bahkan sampai berharap kalau nikah nanti sama temen seangkatan aja) dan tidak
mencoba dekat dengan senior( kecuali sebatas urusan kerja seperti OSIS dan
ekstrakurikuler). Selebihnya pokoknya minimalisasi kontak. Ya, gue pengen jadi
orang bijak belajar dari kesalahan orang lain (junior yang dilabrak itu yang
dikenal) sementara orang bodoh belajar dari kesalahan diri sendiri.
Hal yang tidak gue sadari adalah gue
mengambil kesimpulan yang salah dan keputusan gue untuk meminimalisasi kontak
dengan senior membuat gue punya ketakutan yang irrational terhadap senior. Gue baru menyadarinya ketika gue masuk
psikologi UI dan dapet tugas untuk mewawancara senior, gue sangat takut
(keringat dingin) untuk memulai menyapa senior terlebih dahulu, bahkan pernah
beberapa kali gue pusing dan merasa mau muntah saat mencoba mendekati senior.
Ya bisa ditebak, gue gagal dalam tugas gue mewawancarai senior. Dalam pandangan
gue, yang ada adalah sosok senior yang akan melabrak juniornya ketika juniornya
melakukan kesalahan. Karena minimnya kontak dengan senior, kalaupun bertemu
senior yang baik, gue selalu menganggap mereka adalah pengecualian, sama
seperti halnya gue sebagai senior. Gue ngga mau jadi senior yang melabrak adik
kelas maka dari itu gue ngga peduli sama adik kelas, mau mereka jungkir balik
depan gue, bakalan gue biarkan.
Pas belajar psikologi abnormal kemarin,
gue jadi tahu kalau ketakutan itu akan membesar jika kita sering menghindar
dari objek yang kita takuti sehingga kita tidak tahu kondisi objek yang
sebenarnya, sehingga pikiran-pikiran takut yang irrational yang justru menguasai kita. Salah satu cara untuk
mengatasi rasa takut tersebut adalah dengan menghadapinya sehingga kita bisa
mengetahui kondisi objek yang sebenarnya.
Walaupun gue baru tahu teorinya pas
semester 5, gue udah berjanji ke diri gue sendiri bahwa gue harus mencoba
membuka diri terhadap senior pas di semester 4 (bertepatan pas gue masuk SALAM
UI i5) dan gue bersyukur banget bisa kenal dengan para PI & BPH SALAM UI i5
(kebanyakan senior) karena mereka membantu gue belajar bahwa senior itu tidak
menakutkan. Mereka manusia biasa, punya beragam karakter, Mereka tidak
menginggit dan juga menyalak. hehe… :D
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D