Seorang anak tidak bisa memilih
lahir dari ibu seperti apa. Tapi jikapun Allah memberiku kesempatan untuk
memilih, aku akan tetap memilih umiku (panggilanku untuk Ibu) sebagai ibuku. Bagiku beliau adalah hadiah terindah dari Allah. Ibuku adalah sosok
yang menginspirasiku dan menjadi motivasiku untuk tidak menyerah pada keadaan.
Image courtesy of Master isolated images at FreeDigitalPhotos.net |
Tahun 1995, bisnis usaha Abi (panggilanku untuk ayah) di Tegal
bangkrut dan rumah kami disita. Kami sekeluarga pindah ke rumah Kakek di
Karawang. Abi bilang kami akan pindah untuk sementara, tapi ternyata kami tidak
tinggal untuk sementara. Aku tidak mengerti kenapa tapi Abi tidak juga
mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha.
Aku ingat saat itu saking tidak
ada uangnya dan adik perempuanku memey jatuh sakit, Umi pun terpaksa menjual
cincin nikahnya. Cincin nikah Abi sudah
lebih dulu dijual untuk kebutuhan yang lain.
Temanku bilang bukan tugas seorang anak untuk memikirkan apakah besok
bisa makan atau tidak, tapi aku tahu kondisi keluargaku dan saat kecil aku
sering mengkhawatirkan apakah aku bisa makan atau tidak. Aku tahu Umi dan Abi bertengkar
saat mengira kami sedang tidur. Aku sebenarnya tidak tidur dan mendengar
pertengkaran tersebut, aku cuma bisa menangis. Ada saat dimana ketika mendengar
pertengkaran mereka, aku mengira mungkin lebih baik aku tidak dilahirkan
sehingga tidak menjadi beban kedua orang tuaku. Aku bilang pada diriku sendiri
bahwa aku harus sukses dan punya banyak uang mungkin pertengkaran orang tuaku
akan berhenti.
Abiku bekerja serabutan menjual majalah, tidur dari masjid ke masjid
di Bandung dan jarang pulang. “Setiap keluarga diberi ujian. Ada yang diuji
dengan harta, anak yang bermasalah, pasangan, kesehatan dan lain-lain.
Alhamdulillah Umi bersyukur dianugerahi anak yang sehat, pinter dan nurut. Dan
sepertinya ujian umi adalah suami.” Ujar beliau. Uang penghasilan abi tidaklah cukup mengingat kebutuhan
aku dan adik-adiku makin banyak menginjak usia masuk sekolah, akhirnya Umilah
yang pergi bekerja. Awalnya, Umi bekerja menjadi guru honorer di STM Tekmako. Hal yang aku kagumi adalah meski bekerja, Umi
tetap memasak,mengurus rumah, dan mengajari aku dan adik-adikku belajar.
Alhamdulillah saat 2004, Umi ikut tes CPNS dan lolos menjadi guru
Bahasa Indonesia di MAN Subang. Semenjak itu, Umi pulang pergi Karawang-Subang.
Aku tidak tahu umi dapat kekuatan dari mana. Umi memulai harinya pukul 4,
memandikan kakekku, memasak, menyiapkan seragamku, baru berangkat ke Subang.
Meski perjalan Karawang-Subang memakan waktu 4 jam, tapi saat pulang ke rumah,
Umiku masih sanggup mengajariku dan mendengarkan cerita keseharianku di
sekolah.
Umiku sering melihat sisi positif dari masalah. Umiku tidak menyesali bisnis Abi bangkrut. Umi bilang mungkin itu teguran dari Allah karena saat bisnis abi berjalan baik, umi dan Abi jadi lalai shalat. Selain itu, Allah mengingatkan bahwa kekayaan itu titipan sementara, yang bisa diambil sewaktu-waktu, apalagi jika tidak bisa menggunakan titipan tersebut dengan baik.
Kalau aku jadi Umi sepertinya aku tidak akan sanggup bertahan. Aku
mungkin ambruk dan ingin bunuh diri dari awal.
Ngomong-ngomong soal ambruk, Umiku akhirnya ambruk juga setelah dua
tahun menjalani pulang-pergi Karawang-Subang. Beliau jatuh pingsan di kamar
mandi dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Saat itu, aku sangat ketakutan akan
kehilangan Umi. Aku berdoa agar Allah
menyelematkan Umi dan aku bilang aku berjanji akan jadi anak yang baik.
Alhamdulillah Allah mendengar doaku, Umi selamat dan beliau masih hidup sampai
sekarang. Akibat ambruk beliau, Umi pun berusaha mengurus mutasi dari MAN
Subang ke MAN Karawang. Alhamdulillah proses mutasi berjalan lancar. Saat ini Umiku
mengajar di MAN Karawang.
Saat akhirnya
Umi bercerai dari Abi pun, Umi tidak
menyesal pernah menikah dengan Abi. Umi bilang kalau tidak menikah dengan Abi,
mungkin umi tidak akan memiliki kami bertiga, aku, adikku Huang dan Memey. Dan
Kalian tahu apa? Umi menikah dengan Abi melalui ta’aruf, tapi beliau tidak
kapok untuk ta’aruf lagi. Padahal aku sempat berpikir bahwa pernikahan mereka
gagal karena menikah melalui ta’aruf, mungkin mereka kurang benar-benar mengenal
dan tidak saling mencintai. Saat ini, umiku sudah menikah lagi dengan Ayah
Tiriku dan mereka menikah melalui ta’aruf.Kulihat mereka bahagia dan pernikahan
mereka mengajariku untuk tetap optimis memandang pernikahan dan ta’aruf.
Umiku juga
merupakan sahabatku. Aku sering cerita tentang masalahku pada beliau. Beliau
pendengar yang baik. Beliau sering bertanya agar bisa memahami duniaku, seperti
ikut buat akun email, facebook, dan twitter. Beliau tidak menggurui, alih-alih bilang
jangan pacaran, beliau bertanya padaku apa keuntungan pacaran dan apa
kekurangannya, dan silahkan tentukan sendiri.
Hal yang aneh
dari Umi adalah beliau terlalu percaya padaku. Ada juga saat aku mulai
kecanduan HP,HP sulit lepas dari genggamanku dan mengganggu konsentrasi
belajarku . Teman-temanku yang mengalami hal yang sama, HPnya disita oleh orang
tua mereka, sementara umi cuma bilang “Kalau mau pinter dan sukses, ya belajar,
kalau ngga mau ya udah, kan yang nanggung resikonya jeje (aku dipanggil jeje di
rumah) sendiri.”
Aku bengong
tidak percaya dan bertanya “Jadi umi ngga bakal sita HP Jeje?”
“Ngga. Taruh aja Hpnya di samping jeje, terus
buka buku belajar. Jeje bisa kok.”
Pernah juga
aku meminta izin untuk pergi malam untuk kursus GO dan kursus bahasa Inggris di
CEL dengan teman lelakiku, beliau mengizinkan. Beliau bisa saja
mencurigaiku berbohong, tapi tidak. Emang aku tidak bohong juga sih tapi
teman-teman perempuanku yang lain ditentang oleh orang tua mereka untuk pergi
malam-malam, apalagi perginya sama temen lelaki sehingga aku sering jadi perempuan
satu-satunya di kelas kalau ada kursus mendadak atau tambahan yang jadwalnya malam.
Melihat Umi yang hebat, aku skeptis bisakah aku menjadi ibu yang baik
seperti Umi. Aku merasa tidak ada apa-apanya dibanding Umiku. Saat kuutarakan
hal tersebut, Umi bilang “Tahu ngga? Umi bisa kayak sekarang karena belajar Umi
ngga langsung jago, dulu Umi ngga bisa apa-apa, ngga bisa masak, ngga bisa gendong
bayi, dan lain-lain. Umi belajar pelan-pelan saat menikah. Umi yakin jeje juga
pasti bisa.”
Mendengar hal tersebut, aku jadi ingat saat masih aku masih kecil, masakan Umi sering kali keasinan. Kalau sekarang? Well, masih sering keasinan juga. Hahaha. Tapi itu tidak seberapa dibading kebaikan dan usaha Umi selama ini.
Amin. Semoga aku bisa jadi ibu hebat seperti Umi.
Jazakillah khair, Umi.
Alhamdulillah terima kasih telah menghadiahiku Umi
sebagai ibuku, ya Allah.
"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com”