“When Chinese remain abroad for several generation without returning to their native land, they frequently cut themselves off from the instruction of the sages; in language, food and dress, the imitate the natives and studying foreign books (? Quran), they do not scruple to become Javanese, when they called themselves Islam (Sit-Lam). Then they refuse to eat pork and adopt altogether native customs.”
—Ong Tae Hae (pelancong Tionghoa abad ke-18)
beberapa
waktu lalu gue baru ja selesai baca buku “Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: PergulatanMencari Jati Diri.” Karya Afthonul Afif.
Fungsi buku
ini sesuai dengan judulnya karena telah membantu
gue untuk menemukan jati diri, atau lebih tepatnya mengetahui asal-usul leluhur.
Hal lain yang gue suka dari buku ini adalah buku ini menggunakan sudut pandang
psikologi dalam menceritakan proses pembentukan identitas tionghoa. Berasa lagi
belajar mata kuliah Self in Social Life (Diri dalam kehidupan Sosial) atau justru Cross Cultural Psychology (psikologi lintas budaya) :D
Dari buku
ini, gue jadi tahu bahwa secara genealogis ada 3 kelompok generasi tionghoa
muslim. Generasi pertama tuh The Lost
Chinese Muslim. Generasi ini datang ke tanah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16
. Mereka datang tanpa membawa istri-istri mereka sehingga melakukan perkawian
campuran dengan perempuan pribumi. Proses ini berlangsung terus menerus hingga
melahirkan generasi yang hanya memiliki sedikit saja ciri-ciri ketionghoaan,
bahkan secara berangsur-angsur ciri-ciri tersebut hilang. Kelompok kedua adalah
orang-orang Tiaonghoa Muslim yang lahir dari kedua orang tua yang sama-sama
Tionghoa Muslim atau lahir dari perkawinan campuran antara Tionghoa Muslim dan
pribumi. Sementara kelompok generasi ketiga adalah para imigran Tionghoa
beserta keturunannya yang datang belakangan dan karena faktor tertentu kemudian
masuk Islam (new convert).
Kalau pakai
penggolangan tersebut berarti gue masuk kelompok generasi kedua karena abi
gue Tionghoa Muslim sementara umi gue itu Sunda :D (bisa baca disini)
Di buku ini
ada studi kasus berbagai Tionghoa Muslim dan ditemukan bahwa Tionghoa Muslim
sendiri beragam tidak homogen, terutama dalam aspek ekonomi. Ada yang kalangan
menengah atas, ada juga yang kalangan menengah bawah. Soalnya sering ada
stereotip kalau orang Tionghoa itu kaya secara financial.
Hal yang gue sukai dari buku ini adalah buku ini menjelaskan mengapa banyak keluarga
Tionghoa yang marah besar ketika ada anggota keluarganya masuk Islam. Ternyata
semua itu bermula oleh politik devide et empera Belanda. Saat penjajahan
Belanda, Belanda membagi penduduk dalam tiga golongan. Golongan atas adalah
orang-orang Eropa. Golongan kedua adalah pendatang dari Timur jauh, entah
India, Arab, dan termasuk pendatang Tionghoa. Golongan ketiga dan dianggap
paling rendah adalah masyarakat pribumi. Penjajah Belanda mengusahakan tidak
terjadinya persatuan antara golongan kedua dan ketiga. Salah satu caranya
adalah jika ada golongan kedua, khususnya Tionghoa yang masuk islam maka status
jatuh menjadi golongan ketiga. Oleh karena itu, keluarga Tionghoa yang mendapati
anggota keluarganya masuk Islam akan marah besar dan mengusir anggota keluarga
tersebut karena status mereka akan jatuh. Salah satu cara masyarakat Tionghoa
akan statusnya naik adalah mengadopsi cara berpakaian dan agama orang Eropa.
Oleh karena itu, saat ini banyak ditemukan masyarakat Tionghoa yang memeluk
agama Kristen Protestan atau Katolik.
Hal yang kadang
bikin gue kesel adalah sebagian orang Indonesia yang non Tionghoa kadang
mengganggap bahwa Tionghoa tidak beragama Islam, hanya beragama Budha/Konghucu/Protestan/Katolik.
Gue pernah ngalamin dimana gue disangka non Islam. Temen gue, Joe juga pernah
mengalami hal yang sama. Dia bilang dia pernah ditanya “Loe Protestan atau
Katolik?”. Hal yang tidak disadari sang penanya dari pertanyaan itu adalah ada makna
tersirat dia punya asumsi agama orang Tionghoa hanya terbatas antara
Protestan/Katolik, padahal kan ngga begitu. Gue berharap sih stereotype kayak
gitu berkurang. Walaupun sebenernya gue
bisa memahami kenapa stereotype itu bisa terjadi soalnya Tionghoa Muslim itu
minoritas dalam minoritas.
“saya tidak pernah menolak dan menyesal lahir sebagai orang Cina. Saya mengakuinya secara terbuka karena memang secara fisik dapat diketahui orang banyak. Saya juga tidak menutup-nutupi identitasku sebagai muslim. Kalau ada yang Tanya, ya saya jawab apa adanya kalau saya muslim. Memangnya orang Cina tidak boleh masuk Islam? Boleh kan?”
―Lia
Salah satu
cara politik adu domba yang dilakukan penjajah Belanda adalah menyediakan area
khusus untuk tempat tinggal masyarakat Tionghoa sehingga interaksi dengan
pribumi dapat terkontrol. Kalian pasti menyadari bahwa hampir di tiap kota di
Indonesia ada pecinan (tempat tinggal khusus orang Tiongha). Dan saat ini masaih ada sehingga mungkin itu
salah satu penyebab kenapa ada stereotype orang-orang Tionghoa itu ekslusif,
hanya bergaul dengan orang Tionghoa saja.
Hal yang menurut
gue menyedihkan adalah walaupun Belanda udah pergi meninggalkan Indonesia,
praktik membedakan antara Tionghoa dan pribumi masih ada sampai sekarang,
bahkan berkembang menjadi stereotipe dan membuat proses asimilasi antara
masyarakat Tionghoa dan pribumi sulit. Walaupun masyarakat Tionghoa sudah
menuruti pemerintah dengan mengganti nama dengan nama Indonesia (baca disini) tapi masih saja
ada anggapan Tionghoa itu bangsa pendatang. Padahal Tionghoa yang ada di
Indonesia sekarang sudah menganggap diri mereka bagian dari bangsa dan Negara Indonesia
dan bahkan sudah tidak bisa bahasa Mandarin. (gue termasuk keturunan tionghoa
yang ngga bisa bahasa mandarin.. heheh)
Untungnya
sekarang (setelah masa Orde Baru), roh budaya tionghoa di Indonesia mulai hidup
kembali. Orang-orang Tionghoa di Indonesia dapat kembali mengekspresikan budaya, adat,
dan tradisi dengan bebas. Kondisi tersebut dapat terlihat mulai maraknya
sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa mandarin, diakuinya tahun baru Cina
sebagai hari libur Nasional, media-media yang berbahasa Mandarin mulai
bermunculan. :D
Buku ini
juga menceritakan suka duka (keuntungan dan tantangan) yang dihadapi ketika
menjadi Tionghoa Muslim =) Buat gue seru
karena gue menemukan bahwa gue ngga sendirian. Walaupun gue cuma separuh
Tionghoa tapi karena terlahir dengan fisik Tionghoa dan diperlakukan seperti
orang Tionghoa (Misalnya disangka pinter dagang, disangka kaya, pelit, dan
berbagai stereotype lainnya), gue juga dapat memahami perjuangan menjadi
Tionghoa Muslim.
Semoga aja
ke depannya prasangka negatif antara Tionghoa dan pribumi (baik dari pribumi ke
tionghoa atau prasangka negatif orang Tionghoa ke pribumi ) dapat diminimalisasi
:D sehingga bhineka Tunggal ika
bener-bener terwujud :D
Daftar Pustaka
Afif, A. (2012). Identitas tionghoa muslim indonesia
pergulatan mencari jati diri. Depok: Penerbit Kepik.
gambar
diunduh dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgutCjwJArnIkcIIcPFb1Ners5bBciPrGtuOTDI4W1k96YlwWnh6etlumO2uqvDVLTpHhGu2pnDJv7WRvmcOshYHcYwBuuTR-QtBMRoO10eBbpLBWgGz4__3ftxpoauAZoTvx2qxwE613A/s1600/10tionghoa.jpg
haha.. sabar ya Hana. tetep terus berkarya !
BalasHapusamin :D makasih rizka :D
BalasHapusterima kasih atas kesaksiannya Hana
BalasHapusSalam kenal
Afif
eh? :O ada mas afif :D wow makasih mas :D salam kenal juga :D
Hapuskesaksian yang menarik...^_^
BalasHapusKetika Indonesia Merdeka aku lahir shg yang kukatakan " terima kasih pahlawan aku bisa hidup bahagia dan merdeka".Ketika bercermin aku bersyukur dengan kulit cokelatku jadi teringat kata2 Auri Marcus teman yahudi yg putih dan cantik, " Man your skin I'm being so jealous". Ketika terjadi kekacauan krn SARA aku bebas kemana saja dan tidak terpikir olehku menyalahkan masa lalu baik jepang atau belanda walaupun buku yg aku pelajari bilang mereka kejam dan tukang adu domba. Ketika aku mulai mendalami ajaran agama, Beliau memudahkan jalanku untuk bekerja di Kapal pesiar aku bisa mengunjungi Negara Atheis dlm hati aku berkata "maafkan aku Tuhan aku salah ternyata mereka juga hidup seperti ajaranMU walau menolakMu. Ketika berhenti bekerja di Kapal pesiar aku berkata" terima kasih Tuhan hamba beristrikan orang RRC hamba bisa Mandarin, hamba gampang mencari kerja. Faktanya aku minoritas tapi aku merasakan hal2 mayoritas krn aku bisa berteman dengan siapa saja, dan ketika menurut berita yg kudengar Indon bernada negatif diluar negeri, betapa bangga bilang " I'm Indonesian " dan merekapun bilang " I wanna go there ". aku lega krn bisa tertawa ketika bahagia, Menangis ketika sedih. aku bisa berekspresi, aku tahu identitasku. Keinginanku saat ini hanya memiliki mobil toyota Rush warna putih shg aku tdk kehujanan jalan2 dgn istri dan 2 anakku hahaha.
BalasHapusmakasih banyak sharingnya :D
BalasHapus