Beberapa
waktu lalu gue baru saja membaca artikel yang di-share temen gue di facebook.
Artikel tersebut mengkritisi tindakan kita yang suka menawar pada pedagang
kecil tetapi memberi banyak pada pengemis atau tidak membeli dagangan pedagang kecil tapi malah memberi kepada pengemis. Penulis artikel tersebut mengajak
pembacanya untuk beramal (bersedekah) dengan cara tidak menawar pada pedagang
kecil untuk menghargai usaha mereka yang memilih berjualan dibanding mengemis. Penulis
artikel menganggap bahwa selama ini simpati kita terbalik.
Selesai
membaca, yang terlontar dipikiran gue adalah “Ide yang bagus, kenapa selama ini
gue ngga kepikiran ya?” Gue pun mencoba untuk tidak menawar tapi ternyata ngga
semudah yang dibayangkan, terlebih lagi kalau gue tahu penjual yang jual dengan
harga lebih murah. Kenapa ya?
Menurut Margaret Clark, Judson
Mills, dan Alan Fiske (dalam Ariely, 2008) manusia hidup dalam dua dunia
yaitu dunia yang diatur dengan norma sosial dan norma pasar. Norma sosial melibatkan
permintaan ramah antara satu orang dengan orang yang lain. Norma sosial ada
karena kebutuhan manusia hidup dalam komunitas. Seseorang tidak mengharapkan
balasan yang cepat ketika sedang melakukannya, contoh kita menolong tetangga
kita yang baru pindah dengan membantu membawa masuk beberapa kardus ke dalam
rumah mereka, dan saat melakukannya kita tidak mengharapkan tetangga kita untuk
langsung melakukan hal yang sama saat itu juga. Norma sosial menimbulkan rasa
nyaman bagi yang menolong dan ditolong. Dunia yang kedua adalah dunia dimana
yang berlaku adalah norma pasar. tidak ada kehangatan dalam dunia ini. Dunia
ini adalah tentang pertukaran gaji, uang, bunga, keuntungan dan kerugian. Dalam
dunia ini, kita mendapat sesuai dengan apa yang kita bayar.
Berdasarkan
teori di atas, sebenarnya bukan simpati kita yang terbalik, tetapi itu adalah
hal yang wajar. Saat sedang berhadapan dengan pedagang (walaupun pedagang
kecil), kita memasuki dunia kedua dan bertindak sesuai norma pasar. Kita
menginginkan pengeluaran sekecil-kecilnya dan mendapat keuntungan
sebesar-besarnya. Sementara saat berhadapan dengan pengemis, kita memasuki
dunia pertama yang diatur dengan norma sosial, kita rela memberikan uang kita
karena dalam dunia ini kita tidak sedang memikirkan untung dan rugi.
Ada contoh
menarik yang disediakan dalam buku Predictably Irrational oleh Dan Ariely.
Seorang pekerja LSM meminta tolong pada seorang pengacara untuk mau dibayar
murah dalam membela orang-orang yang tidak mampu dalam menjalani proses hukum dan
ternyata pengacara menolak. Pekerja LSM pun kembali lagi tetapi kali ini dia
meminta pengacara tersebut melakukannya secara gratis dan pengacara tersebut
mau melakukannya. Apa yang terjadi disini? Apakah kalian berpikir pengacara ini
bodoh karena lebih memilih tidak dibayar?
Saat pekerja
LSM datang meminta dibayar dengan murah, sang pengacara merasa berada dalam
dunia yang diatur dengan norma pasar dan tentu saja dia menolak karena tidak
mau dengan harga murah. Akan tetapi ketika pekerja LSM memintanya melakukan
secara gratis, pengacara ini merasa dia melakukan pekerjaanya dalam konteks
norma sosial, untuk menolong orang yang tidak mampu.
Gue rasa
ketika bertemu pedagang kecil, dari awal sebaiknya memang meniatkan untuk
bersedekah/memberi padanya karena jika tidak diniatkan dari awal, otak kita
secara otomatis akan berpikir kita berada dalam konteks yang diatur dalam norma
pasar sehingga mengharapkan untuk mendapatkan barang dengan harga semurah-murahnya.
Mungkin kita bisa menganggap menolong tanpa diketahui atau barang yang kita
dapat darinya adalah hadiah ucapan terima kasih dari orang yang kita tolong. Selamat
mencoba (»'⌣'«)
Daftar pustaka
Ariely, D. (2008). Predictably
irrational. New York: HarperCollins Publisher.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D