“Han… yakin
mau masuk psikologi? kalau loe masuk psikologi, loe bakal telat nikah deh.”
“Kenapa? Apa hubungannya masuk psikologi sama telat nikah?”
“Soalnya loe nanti bisa baca orang dan nemu yang
jelek dikit aja loe ngga mau. Loe bakal nyari yang sempurna tapi loe ngga bakal
nemu karena ngga ada manusia yang sempurna. Jadinya telat nikah deh.”
Percakapan tersebut adalah percakapan gue dengan temen sekelas gue waktu SMA, Wisnu. Saat itu, gue ngga dengerin omongannya, gue menganggap dia cuma
nakut-nakutin gue mengingat sifatnya yang emang jail dan suka bercanda :p
Setahun setelah gue masuk psikologi UI, gue ketemu
temen gue, Bagus, dulunya Ipa2. Dia sekarang farmasi ITB.
Setelah setahun ngga bertemu, komentar dia malah
sama kayak Wisnu.
“Han, gue perhatiin sih anak-anak psikologi tuh pada telat
nikah. Mereka bisa baca orang sih jadinya nyarinya yang sempurna. Banyak temen gue
yang kayak gitu.”
“hm.. mungkin aja sih” gue tersenyum kecut
mendengarnya. “Tapi senior gue banyak kok yang nikah muda. Psikologi UI
angkatan 2007 malah pada pengen nikah muda dan gue inget waktu gue masuk bahkan
ada yang udah hamil.” bantah gue.
Sebenernya dulu salah satu cita-cita gue adalah
nikah muda. Nyokap gue nikah di tahun terakhirnya kuliah. Gue rasa gue pengen gitu juga. Tapi pas masuk
kuliah, I’ve changed my mind. Gue ngga mau nikah pas kuliah. Secepet-cepetnya
gue nikah kayaknya pas lulus kuliah deh. Soalnya kuliah dan ngurus diri sendiri
aja cukup berat buat gue, apalagi kalau ditambah ngurus suami plus anak.
Mengingat salah satu cita-cita gue adalah jadi
marriage counselor, gue sering ke perpus buat pinjem dan baca buku tentang
pernikahan gitu. Gue baca2 di psychologytoday(dot)com juga. Gue belajar bahwa
cinta tu bukan landasan yang cukup buat pernikahan. Pernikahan yang hanya
berlandaskan cinta paling lama bertahan tujuh tahun, bahkan bisa kurang dari
enam bulan. Selain cinta, ada faktor2
lain yang harus dipertimbangkan dan jika faktor2 tersebut tidak dipertimbangkan
maka resiko perceraiannya semakin tinggi.
Faktor-faktor yang memengaruhi
kesiapan menikah:
- usia dan
kedewasaaan
pasangan yang menikah
saat remaja memiliki tingkat ketidakstabilan pernikahan lebih tinggi. Hal itu
disebabkan remaja memiliki ketidakmatangan emosi dan tidak mampu mengatasi masalah
pada masa awal pernikahan. Pasangan yang menikah muda memiliki sedikit rasa
keyakinan, hadirnya rasa cemburu, sedikit saling memahami, gaya komunikasi yang
cenderung mendominasi atau saling menghindar.
Kalau gue sendiri sih
ngeliatnya lebih ke faktor kedewasaan. Menurut gue usia tidak menentukan
kedewasaan hidup seseorang, tapi pengalaman hidup yang dilaluinya. Soalnya Ada
yang nikah muda dan fine2 aja. Tapi emang sebagian besar remaja emang labil
sih.
Masalah lain kalau
pasangan tidak dewasa adalah kadang mereka belum mengetahui jati diri mereka,
apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup. Orang yang belum kenal dirinya
sendiri biasanya sulit mengenali penyebab emosi yang dia rasakan sehingga problem
focused coping (penyelesaian masalah) sulit dilakukan. I mean kalau loe ngga tahu apa penyebab masalahnya, gimana bisa
nyelesainnya?
- waktu
pernikahan
Jangan menikah ketika
salah satu pasangan baru tertimpa musibah seperti kehilangan orang tua ataupun
kehilangan pekerjaan. Pasangan akan merasa
mereka memulai pernikahan apda waktu yang salah sehingga akan memiliiki jarak
bukan karena tidak saling mencintai, tidak ingin menikah, dan namun karena
merasa belum siap untuk menikah.
- motif untuk
menikah
Sebagian besar orang
menikah untuk alasan positif seperti cinta, keamanan, dll. tapi ada juga yang
menikah karena alasan negatif seperti lari dari orang tua, untuk bergantung
pada orang lain, penerimaan dan agar merasa berharga atau menarik.
Gue sih nangkepnya soal motif ini nyambung sama perkataan Rasulullah bahwa perbuatan itu tergantung niatnya. Menikah termasuk salah satunya. Kalau niatnya ngga baik, kemungkinan besar pernikahannya bakal ngga baik juga.
- kesiapan untuk memiliki hubungan seksual yang eksklusif
- emansipasi
emosional dari orang tua
individu yang masih
bergantung pada orang tua untuk pemenuhan kebutuhan emosionalnya adalah
individu yang belum siap menikah. I mean tidak ada seorang pun yang mau menjadi
saingan mertua.
- pendidikan
dan kesiapan kerja
Semakin rendah tingkat
pendidikan dan pekerjaan seseorang, mereka akan cenderung untuk cepat menikah
sebagai tambahan, budaya Indonesia menekankan persetujuan
di antara dua keluarga sebelum menikah.
Gue ngerti sih kenapa soalnya loe ngga menikah hanya
dengan pasangan loe, tapi juga keluarga pasangan loe. Di Indonesia, ada bakal banyak hal yang
dilakukan bersama keluarga kayak persiapan pernikahan, perayaan hari raya,
kelahiran,
Selain itu, gue juga nemu alasan kenapa seseorang menunda menikah. Mereka bisanya
memiliki constraining belief yang terlalu tinggi dalam memilih pasangan dan
dampaknya mereka semakin lama dalam menentukan waktu menikah. Ada tujuh dimensi
constraining belief:
- One and
only (percaya bahwa calon pasangan merupakan belahan jiwanya)
- love is
enough (cinta adalah syarat yang cukup untuk menikah)
- cohabitation
(percaya bahwa melakukan cohabitation/kumpul kebo dapat meningkatkan
kesukesan pernikahan padahan tidak begitu)
- complete
assurance. ada dua hal yaitu perfect self dan perfect relationship. perfect
self menunjukan individu baru mau menikah jika ia merasa dirinya sempurna.
perfect relationship menunjukan bagaimana individu ingin kualitas hubnya
sesuai yang diinginkan.
- idealization
(seseorang baru mau menikah jika criteria pasangannya terpenuhi)
- opposite
complement (seseorang meyakini bahwa ia akan menikah dengan pasangan yang
memiliki karakter bertolakbelakang dengannya maka ia dapat melengkapi satu
sama lain
- ease dan
effort (tanpa harus berusaha, seseorang pasti dapat mendapat pasangan)
well, gue pernah kepikiran
untuk menikah di usia deket2 30. Bukan karena gue punya kemampuan untuk baca
orang seperti yang diduga temen gue. O ia, gue
pengen ngelurusin satu hal: anak psikologi NGGA BISA BACA PIKIRAN. Ngga ada mata
kuliah yang ngajarin cara baca pikiran. kKlau pun bisa, mungkin gue bakal
menggunakan hal tersebut buat baca pikiran dosen mengenai soal2 apa aja yang bakal keluar pas ujian dan
gue pun bisa dapet nilai bagus… (ц`ω´ц*) hahaha *evil smirk*.
Alasan gue pengen nikah deket2 usia 30 karena gue pengen
ngebuat diri gue sempurna. Kayaknya gue punya constraining belief, complete assurance. Gue berharap dengan membuat diri gue sempurna gue
bisa dapet pasangan yang sempurna. Sempurna disini bukan berarti gue tanpa
cela.. Sempurna disini lebih ke gue ingin membuat diri gue jadi calon istri dan
ibu yang baik menurut standar gue. Gue pengen bisa masak, melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya,
dan gue pengen ngebenerin bacaan dan hafalan quran gue. Ketika gue udah
berhasil, gue baru mau nikah. Gue takut pernikahaan gue bakal gagal karena ngga
bisa jadi istri yang baik. Walaupun begitu, sebenernya gue lebih khawatir
nantinya ngga bisa jadi ibu yang baik sih. Gue takut ngga bisa ngurus dan
ngedidik anak dengan baik. Salah satu usaha gue adalah banyak baca buku tentang
ngedidik anak tapi gue ngga tahu apa nanti gue bisa praktekinnya apa ngga.
Saking takutnya ngga bisa jadi ibu yang baik, gue sempet kepikiran untuk ngga
menikah. tapi sayangnya Islam ngelarang untuk ngga menikah. Menikah kan salah
satu sunnah Rasul. Huft..alhamdulillah :D Islam lagi2
menyelamatkankan Hana :D
anyway, waktu gue bilang ke keluarga gue bahwa gue sempet
kepikiran tuk menikah deket2 usia 30. Mereka semua langsung bilang “jangan!” Apalagi
nyokap gue. Beliau sampe bilang “ Ngga. pokoknya jangan. Kalau ada cowok yang
ngelamar jeje sekarang, terima aja je. Umi lebih setuju jeje nikah muda
dibanding nikah tua.” gue ngga se-desperate itu juga -.-" hahahah.. XD gue lupa kalau nyokap gampang cemas harusnya gue ngga usah ngomong.
Sementara sepupu gue bilang “Jangan Na. nanti
usia loe ma anak loe terlampau jauh.”
hm.. ucapan sepupu gue ada benernya juga sih. Gara2 omongannya gue jadi innget salah satu keinginan gue adalah punya 4 orang anak. :) semoga dikabulkan sama Allah :D
Jadi apakah gue bakal menikah muda, menikah atau melajang? Entahlah.. gue sepertinya bakalan tetep menikah karena itu
sunnah Rasul, Tapi soal kapan, liat nanti deh. hehehe
intinya sih gue baru ja dapet pencerahan daripada gue khawatir ngga
jelas, lebih baik gue berdoa sama Allah minta dikasih yang terbaik dan
mengungkapkan kekhawatiran2 gue padaNya. :D
Doain Hana aja ya guys :D
Anyway, hal-hal lain yang Hana pelajari adalah
5 faktor yang
membedakan pasangan bahagia dan tidak bahagia:
a. bagaimana
pasangan berkomunikasi dengan baik
b. fleksibilitas
hubungan mereka dengan pasangan
c. kedekatan
secara emosional satu sama lain
d. kesesuaian
kepribadian mereka satu sama lain
e. bagaimana
mereka menyelesaikan masalah
ciri2 pernikahan
bahagia:
a. kesamaan
latar belakang individu
b. persamaan
karakteristik dan ketertarikan
c. status
ekonomi, pekerjaan dan pasangan yang sama-sama bekerja
d. pekerjaan
rumah tangga (keadilan dan keseimbangan antarpasangan)
Setelah dipikir2, Hana harusnya bersyukur. Di psikologi,
hana bisa belajar tentang pernikahan dan juga cara jadi orang tua yang baik.
Ngga semua orang punya kesempatan begitu.
hehehe
Semoga bermanfaat ya
guys :D
Daftar
Pustaka
Wisnuwardhani,
D. & Mashoedi, S.F, (2012) Hubungan interpersonal. Jakarta, Salemba
Humanika