Kalian
mungkin udah tahu kalau dalam Islam sendiri ada berbagai perbedaan pendapat. Pernahkah
kalian merasa bingung dan bertanya-tanya. Misalnya kenapa ada yang shalat subuh
pake qunut, ada juga yang ngga? Kenapa ada yang pake celana ngatung? Kenapa ada
yang pake cadar, pake kerudung ma yang ngga pake kerudung? Kenapa ada yang
manjangin jenggot tapi ada juga yang ngga? Kenapa ada kenapa umat islam yang
ketika melakukan pengeboman berkata bahwa itu adalah jihad? sementara sebagian
lagi mengatakan itu bukan jihad? Kenapa
NII, ahmadiyah dan syiah dianggap aliran sesat? Kenapa… ? Kenapa..? Dan banyak pertanyaan
kenapa lainnya… Siapa yang sebenernya benar di antara mereka? yang tambah bingung
adalah semuanya mengaku bener.
\( °ロ°)/
Siapa sih yang berhak menentukan benar dan
salah? 「(゚ペ)
dan Hana secara
tidak sengaja menemukan jawabannya di buku Fiqih Dakwah karya Jum’ah Amin Abdul
Azis . buku tsb merupakan buku yang wajib dibaca peserta TOS (Training
Orientasi SALAM) 3 . Buku itu ngga menjawab semua pertanyaan di atas sih. Tapi
buku itu menjawab pertanyaan mendasar “Siapa
sih yang berhak menentukan benar dan salah?
“. Hana jadi bersyukur dapet kesempatan baca buku tersebut karena jujur
aja judul bukunya ngga menjual buat gue. Judulnya Fiqh Dakwah, bukan tipe buku
yang bakal Hana beli. Beda ceritanya kalau judulnya “Solusi Permasalahan Muslim
Indonesia”, mungkin Hana beli. hehe.. Tapi pas baca beberapa halaman pertama
Hana langsung memutuskan untuk membeli buku tersebut :D Buku ini tuh bener-bener
salah satu buku yang ngajarin “Don’t judge book by its cover”
Dari buku itu, Hana menyimpulkan bahwa sebenarnya kita tidak berhak
menuduh/memvonis seseorang itu benar ataupun salah. Kita boleh merasa benar tapi
bukan berarti hal tersebut membuat kita boleh
memaksakan kehendak/pendapat kita kepada orang lain, apalagi sampai menganggap
yang berbeda pendapat dengan kita itu kafir. Kalau seseorang berbuat hal yang
menurut kita salah, kita boleh membenci perbuatannya tapi jangan sampai
membenci orangnya, apalagi menganggap orang tersebut kafir. Kita tidak boleh
mengkafirkan seorang muslim yang mengucapkan syahadatain dan melaksanakan
segala konsekuensinya, melaksanakan kewajiban-kewajiban, kecuali ia menyatakan
dengan terang-terangan kata-kata kekufuran atau mengingkari sesuatu yang jelas
dari masalah agama atau mendustakan sharih-nya Al-Quran, atau menafsirkan
Al-Quran dengan penafsiran yang tidak sesuai dengan uslub-uslub bahasa arab,
atau karena suatu perbuatan yang tidak ada pengertian lain kecuali kufur.
Perbuatan
kita mengkafirkan seseorang justru membuat saudara sesama muslim menjauh
padahal Allah menyuruh kita menyeru pada kebaikan dan serahkan hasilnya pada
Allah. Ya, menyerahkan hasilnya pada Allah. Ketika tidak menyerahkan hasilnya
pada Allah, kita sering sekali menjadi kecewa dan memaksakan kehendak kita pada
orang yang kita ajak pada kebenaran menurut kita. Kita hanya mampu mengajak
seseorang berubah tetapi kita tidak bisa mengubah seseorang. Selain itu, kita
seolah lupa bahwa untuk manusia, Allah masih membuka pintu tobat sebesar-besarnya.
Berbeda dengan syetan yang pintu tobatnya sudah tertutup. Jangan sampai mengkafirkan
seorang muslim justru malah membuat kita bersekutu dengan syetan.
Oleh karena
itu wajib bagi kita umat muslim untuk mendalami Islam, mengetahui nilai amal
dan hukumnya, apakah termasuk fardu ain, fardu kifaya, sunnah, sunnah muakad. Perbedaan
hukum dalam masalah-masalah cabang tidak berbahaya selama didasarkan ijtihad
syar’i yang benar. Bahkan perbedaan tersebut adalah rahmat bagi umat ,
fleksibilitas dalam syariat, dan keleluasaan dalam fiqh. Kita tidak boleh
tergesa-gesa menetapkan seseorang kafir pada setiap orang yang melanggar hukum tanpa
membedakan yang ditetapkan dengan nash dan yang ditetapkan dengan ijtihad,
antara nash yang qath’i dan yang zhani, dan antara yang penting dan kurang
penting dalam masalah agama.
“Saya tidak
senang jika para sahabat Nabi itu tidak berbeda pendapat. Karena andaikan hanya
satu pendapat saja, niscaya manusia berada dalam kesempitan. Mereka adalah para
imam yang diikuti. Kalau ada seseorang yang mengambil kata-kata dari salah
seorang diantara mereka itu termasuk sunnah.” –Umar bin Abdul Azis
Dalam Dekapan Ukhuwah
by Salim A.
Fillah
karena beda
antara kau dan aku sering jadi sengketa
karena
kerhomatan diri sering kita tinggikan di atas kebenaran
karena satu
kesalahanmu padaku seolah menghapus
sejuta
kebaikan yang lalu
wasiat sang
Nabi rasanya berat sekali:
“Jadilah
hamba-hamba Allah yang bersaudara”
Kubaca Firman
Persaudaraan
by Salim A. Fillah
…
ya, kubaca lagi Firman-Nya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
aku makin tahu persaudaran tak perlu dirisaukan
karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh
saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa
siksaan
saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai
aku tahu yang rombeng bukan ukhuwah kita
hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil
mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping
kubaca firman persaudaraan Akhi sayang
dan aku makin tahu, mengapa di kala lain diancamkan:
“para kekasih pada hari itu, sebagian menjadi musuh sebagian
yang lain..
kecuali orang-orang yang bertaqwa”
Jika kau
merasa besar, periksa hatimu
mungkin ia
sedang bengkak
jika kau
merasa suci, periksa jiwamu
mungkin itu
putihnya nanah dari luka nurani
jika kau
merasa tinggi, periksa batinmu
mungkin ia
sedang melayang kehilangan pijakan
jika kau
merasa wangi, periksa ikhlasmu
mungkin itu
asap dari amal shalihmu yang hangus dibakar riya
- Salim A.
Fillah
intinya
perbedaan pendapat itu ngga masalah selama bukan masalah ajaran pokok dalam
Islam :D
jadi, untuk
urusan yang cabang, bukan pokok ajaran islam, tidak ada manusia yang berhak menentukan
seseorang itu benar ataupun salah. Yang
Hana tangkep sih gitu, semoga aja ngga salah. Kalau salah, mohon koreksinya :D
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
“Wahai manusia!
Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sungguh yang mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang
paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S. Al Hujurat:
13)
“…. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah
diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah kamu semua kembali, lalu diberitahu-Nya kepadamu terhadap apa yang dulu
kamu perselisihkan.” (Q.S. Al-Maidah: 48)
Daftar Pustaka
Azis,
J. A. A. (2011). Fiqih dakwah: Studi atas
berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah islamiah.
Surakarta: PT. Era Adicitra Intermedia.
Fillah.
S.A. (2010). Dalam dekapan ukhuwah (5th ed). Jogjakarta: Pro-U media.