Image Courtesy of Doug Robichaud at Unsplash.com |
Dear Dio,
Kau titip pesan pada Sahabatku agar aku berhenti menyukaimu.
Kau bilang dirimu tidak sebaik yang kukira.
Aku kaget tentu saja.
Kukira aku mencintaimu diam-diam.
Ternyata ketahuan ya?
Apakah tingkah laku ku sejelas itu?
Entahlah aku masih percaya kau sebaik yang kukira.
Aku kan tahu kebaikanmu karena memperhatikan tingkah lakumu.
Karena mendengar ceritamu dari sahabat- sahabatmu.
Kau yang selalu membawa quran kemana pun kau pergi.
Kau yang murah senyum.
Kau yang keras kepala.
Kau yang pendiam tapi jika bicara bisa membius pendengarmu,
Atau setidaknya kau membiusku.
Kau tahu tidak kalau ulang tahun kita hanya berjarak 2 hari?
Masih belum percaya kalau sebaik yang kukira?
Apa kau takut karena aku menyukaimu diam-diam?
Aku mohon maaf.
Terima kasih atas pesanmu.
Ucapanmu membuatku mempertanyakan rasa sukaku padamu.
Benarkah yang kusukai adalah ideku tentangmu, bukan dirimu yang sebenarnya?
Apa yang paling kusukai darimu?
Mengapa aku menyukaimu?
Kurasa sekarang aku tahu kenapa aku menyukaimu.
Aku kagum kau mengejar mimpimu dengan begitu berani.
Aku tidak seperti itu.
Aku tidak yakin dengan diriku sendiri, dengan mimpiku.
Aku pengecut.
Sembunyi dari mimpi-mimpiku karena takut terjatuh.
Aku menyukaimu karena aku ingin sepertimu,
Yang percaya pada diri dan mimpi.
Aku pikir jika mendukung dan mendoakanmu untuk meraih mimpi-mimpimu,
Aku pun telah meraih mimpiku.
Senang rasanya jika menjadi bagian keberhasilan sebuah mimpi.
Itulah yang kupikir.
Sekarang aku sadar, kau benar.
Aku membohongi diriku sendiri.
Mimpimu dan mimpiku tidak sama.
Tercapainya mimpimu tidak otomatis membuat mimpiku tercapai.
Aku harus berhenti menyukai mu.
Aku harus mulai percaya pada diri dan mimpiku sendiri.
Aku harus berhenti menjadi pengecut.
Selamat tinggal Dio.
Semoga kau bisa mencapai mimpi-mimpimu.
Kuharap saat kita bertemu lagi aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku telah berhasil mencapai mimpi-mimpiku.
Best wishes,
Your (no longer) secret admirer