Seperti yang kuceritakan di MSC Reunion (Minus Ikhsan), aku menganggap kertas kado untuk Hana Talita itu jelek. Sebenarnya kertas kadonya tidak jelek sih, Cuma aku ingat kalau memberi harus memberi yang terbaik dan berpikir apa yang dapat membahagiakan penerima.
Aku tahu Hana Talita suka warna biru tua, Nightmare before christmast, Totoro, Benedict Cumberbatch, dan Hello kitty jadi aku berpikir seharusnya aku menggunakan bungkus kado dengan motif/warna yang Hana Talita sukai. Sayangnya, kertas kado yang kugunakan untuk membungkus kado untuk Hana Talita bukan itu. Kertas kado yang kugunakan berwarna cokelat nyaris hitam, terus ada bentuk hati berwarna pink, dan tulisan I love you. Melihat kertas kado tersebut lebih mengingatkanku pada Vania atau Fida karena mereka berdua suka warna pink. Aku merasa kertas kadonya jelek karena merasa seharusnya aku membungkus kadonya dengan motif atau warna yang Hana Talita sukai tapi aku tidak melakukannya. Kertas kado yang dijual di dekat kosanku pilihannya terbatas dan aku tidak sempat pergi ke toko buku/gift shop untuk berbelanja kertas kado.
Image courtesy of Sicha Pongjivanich at freedigitalphotos.net |
Aku menyadari satu hal: Aku kembali jadi perfeksionis!
Aku berpikir hitam putih. Jika kertas kadonya tidak dibungkus dengan motif/warna yang Hana Talita sukai berarti aku gagal memberikan yang terbaik, gagal membahagiakan Hana Talita dan gagal menjadi teman yang baik. Aku menerapkan standar tinggi pada diriku sendiri. It’s all or nothing.
Padahal tidak begitu. Hana Talita tetap bahagia meski kertas kadonya tidak dibungkus menggunakan warna/motif yang dia sukai. Bahkan, MSC memberi kado padaku tanpa kertas kado dan aku tetap senang-senang saja karena aku tahu niat mereka baik.
Di Tahun 2012, Aku pernah ikut konseling karena ingin mencegah kembalinya pikiran/keinginan
bunuh diri. Aku pernah beberapa kali berpikiran ingin bunuh diri dan menduga aku ini depresi, tapi ternyata hasil diagnosisnya adalah aku perfeksionis. Saat kutarakan rasa terkejutku pada Nia dan Hana Talita, mereka bilang “Ya, Hana. Loe emang perfeksionis”
Sebenarnya hal yang membuat aku kaget adalah menemukan fakta bahwa perfeksionis masuk diagnosis kesehatan mental. Aku tahu aku perfeksionis, hanya saja aku tidak menduga hasil diagnosis yang keluar setelah konseling adalah perfeksionis. Baru-baru ini aku membaca artikel 9 Signs Your Desire for Perfection Has Gone Too Far dan menemukan fakta bahwa ada hubungan yang kuat antara perfeksionis, depresi dan keinginan bunuh diri (bisa baca disini dan disini). Pantas saja!
Aku berharap menjadi sempurna, dan berpikir akan bahagia saat aku berhasil menjadi sempurna. Aku mengejar tujuan yang tidak akan pernah kugapai.
Hanya Allah yang sempurna, dan manusia memang tidak diciptakan untuk sempurna.
Manusia memang tempatnya salah dan lupa.
Jika Allah menginginkan aku tidak pernah berbuat kesalahan, mungkin Allah akan menciptakanku sebagai malaikat, bukan manusia. Bahkan para Nabi dan Rasul pun pernah membuat kesalahan dan diberi teguran langsung oleh Allah. Mungkin karena itu Allah menciptakan mekanisme bertobat.
Mungkin jika kita tidak pernah membuat kesalahan, kita akan mengira bahwa diri kita adalah Tuhan.
Seperti yang dikatakan Yasmin Mogahed:
Why can't we admit that we *aren't* perfect? Why can't we admit that our lives aren't perfect? That our relationships aren't perfect? Why can't we admit that we struggle too? That we are human, living a human existence in a painfully imperfect world?
Maybe it's time to set aside our masks and just be real. This world isn't perfect. We aren't perfect. Our lives aren't perfect. And that's okay. If all of these things were perfect, how would we know our need for God? How would we see it?
Our utter, desperate need.
But you see, that's just it. It is only through that need, that we are given. It is only through breaking, that we can be made whole. Tears can be like medicine. Tears to God--the only cure. Salvation doesn't come through feigning perfection. It comes through breaking, through humility, through admitting defeat and utter need, to the only One who can save you. To God. And God alone.
Look at the stories of the Prophets and how they were each saved. Look at the duaa of Nuh (AS) and Yunus (AS) and Ayoub (AS). They didn't pretend. They didn't feign strength and ability and perfection. They humbled themselves completely and admit that they had no strength or ability, because they knew that truly, truly, all strength and ability comes from Allah.
Aku sempat sedih mengetahui aku masih perfeksionis, tapi kemudian aku teringat akan film Beautiful Mind. Film yang menceritakan tentang John Nash, seorang matematikawan yang berjuang melawan halusinasi dan berhasil meraih hadiah nobel. Film ini mengisyaratkan meski kau memiliki penyakit mental/skizofrenia, kau tetap bisa berkontribusi di masyarakat. Kau bisa berjuang untuk sembuh dan hidup normal.
“Are the hallucinations…gone?”
“No, but I’ve gotten used to ignoring them, and as a result, they’ve kind of given up on me. I think that’s sorta what it’s like with dreams and nightmares. We’ve gotta keep feeding them for them to stay alive”
[Hansen is concerned about John still having hallucinations]
Nash: They are my past. Everyone is haunted by their past.
Mungkin perfeksionisku ini tidak akan sepenuhnya menghilang, tapi aku akan memilih untuk berusaha agar aku bisa berfungsi normal, mengingatkan diriku sendiri bahwa meski aku dan segala sesuatu tidak berjalan sempurna, dunia baik-baik saja, tidak berakhir dan juga tidak menjadi kiamat.
Mungkin aku memiliki perfeksionis agar aku selalu ingat Allah karena setiap kali keinginan menjadi sempurnaku muncul, aku akan berusaha mengingatkan diriku sendiri bahwa hanya Allah yang sempurna.
Allah, jadikan semua gejolak di dalam hatiku mengantarku mendekat pada ridha dan surga-Mu.
Salim A. Fillah
Mungkin aku memiliki perfeksionis agar aku selalu ingat Allah karena setiap kali keinginan menjadi sempurnaku muncul, aku akan berusaha mengingatkan diriku sendiri bahwa hanya Allah yang sempurna.
Allah, jadikan semua gejolak di dalam hatiku mengantarku mendekat pada ridha dan surga-Mu.
Salim A. Fillah
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D