Berteman setelah Putus?
Saya terkejut ketika menemukan salah seorang teman saya, Sasa menangis terisak-isak di pojok ruangan. Saya bertanya padanya apa yang menyebabkannya menangis terisak-isak. Namun Sasa tidak menjawab dan melanjutkan tangisannya. Akhirnya saya bertanya kepada sahabatnya, Vo yang kebetulan berada tepat di sampingnya. Dari Vo, saya mengetahui bahwa ternyata Sasa baru saja putus dari pacarnya. Akan tetapi yang membuatnya menangis bukanlah karena dia putus dari pacarnya─ternyata Sasa memang sejak lama menginginkan putus dari pacarnya karena mantan pacarnya mudah cemburu. Namun yang menyebabkan Sasa menangis adalah reaksi mantan pacarnya. Mantan Pacarnya memberitahu Sasa bahwa dia tidak mau berhubungan lagi dengan Sasa setelah putus sementara Sasa berharap mereka berdua masih bisa berteman setelah putus. Pernahkah anda atau teman anda mengalami kasus yang serupa dengan yang dialami teman saya, Sasa?
Putus merupakan pengalaman yang paling menyakitkan dalam hidup. Bahkan, penyanyi dangdut ternama di Indonesia, Roma Irama mengatakan lebih baik sakit gigi dibanding sakit hati Hal ini disebabkan ketika putus, seseorang tersiksa secara psikologis dan fisik. Ketika putus, seseorang merasa sedih, depresi, marah, kesepian dan tidak berharga. Selain merasa sedih dan tertekan, banyak orang yang merasa kesehatan mereka terganggu, seperti sakit kepala, maag, ganguan makan, dan tidur menjadi tidak teratur..
Duck (1982, dalam Aronson, Wilson, & Akert 2007) mengemukakan teori four stage atau empat fase berakhirnya sebuah hubungan. Fase dimulai dari fase intrapersonal─individu memikirkan perasaan tidak puas dengan hubungannya. Kemudian berlanjut ke fase dyadic─individu membahas keinginan putus dengan pasangannya. Fase ketiga adalah fase social─mengumumkan status putus kepada orang lain seperti teman dan keluarga. Fase terakhir adalah fase intrapersonal─individu memulihkan diri dari putus dan membuat versi bagaimana dan mengapa hubungannya berakhir.
Lalu bagaimana dengan hal yang dialami teman saya, Sasa? Apakah orang masih ingin tetap berteman setelah putus? Ternyata hal tersebut tergantung peran atau posisi─menjadi orang yang memustuskan (breakers) atau yang diputuskan (breakees) dan gender. Akert (1998, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007) menemukan bahwa lelaki tidak tertarik tetap berteman dengan mantan pacarnya, tidak peduli dia di posisi breakers atau breakees. Sementara perempuan cenderung ingin tetap menjadi teman, terutama ketika mereka di posisi breakees. Lelaki cenderung ingin memutus hubungan dengan mantannya dan melangkah ke depan. Sementara, perempuan menginginkan melanjutkan koneksi perasaan yang pernah terjalin dengan mantan pacar mereka, berharap mereka dapat mengubah intimate relationship menjadi platonic friendship. Jadi, jika mantan pacar anda (lelaki) tidak ingin berhubungan dengan anda setelah putus, maka anda jangan heran. Sementara. jika mantan pacar anda (perempuan) menginginkan anda dan dia tetap berhubungan setelah putus itu merupakan hal yang wajar.
Kesimpulannya putus salah satu pengalaman yang menyakitkan dan menyedihkan dalam hidup karena menyiksa psikologis dan fisik. Menurut Duck (1982, dalam Aronson, 2007) ada empat fase proses putusnya suatu hubungan, yaitu:
intrapersonal fase dyadic fase social fase intrapersonal fase.
Ternyata setelah putus, tidak semua orang menginginkan tetap berteman dengan mantan mereka, tergantung posisi─breakers atau breakees dan gender. Lelaki cenderung menginginkan tidak berhubungan lagi dengan mantannya, tidak peduli dia sebagai breakers atau breakees. Sementara perempuan cenderung menginginkan setelah putus, mereka tetap berteman dengan mantan mereka terutama ketika mereka sebagai breakees.
Daftar Pustaka
Aronson, E., Wilson, T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th ed.). Upper Saddle River : Pearson Education, Inc.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung :D
Yang menulis belum tentu lebih pintar dari yang membaca
Jadi, silahkan kalau mau memberikan kritik, saran, umpan balik & pujian.
:D